ANEKA BENTUK DAN MAKNA ONGKARA DALAM BUDAYA BALI
MULTI FORM AND MEANING OF ONGKARA IN BALI CULTURE
I Gde Wayan Soken Bandana
Balai Bahasa Denpasar
Abstrak
Ongkara
adalah salah satu aksara suci dalam
budaya Bali. Sebagai aksara suci Ongkara termasuk dalam aksara wijaksara dan aksara modré. Tulisan ini adalah kajian tentang aksara
dalam budaya Bali. Teori yang diacu adalah teori linguistik antropologi atau linguistik kebudayaan. Berdasarkan bentuknya,
Ongkara secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu wujud
atau bentuk umum dan bentuk khusus. Ongkara
bentuk umum adalah Ongkara yang memiliki bentuk sederhana yang dikenal
oleh masyarakat umum. Ongkara bentuk
khusus adalah Ongkara yang susah
dipahami oleh masyarakat umum karena bentuknya sangat rumit. Aksara Ongkara yang sederhana tergolong aksara wijaksara, sedangkan yang rumit
tergolong aksara modré. Berdasarkan analisis, ditemukan beberapa bentuk
Ongkara yang dibedakan berdasarkan
pandangan masyarakat, yaitu bentuk umum dan khusus. Demikian pula halnya dengan
kajian makna. Ada dua pandangan tentang makna Ongkara dalam budaya Bali, yaitu pandangan masyarakat umum dan
pandangan masyarakat khusus atau pengejar filsafat.
Kata Kunci: Ongkara, bentuk, makna
Abstrac
Ongkara is one of
sacred in Balinese culture. As a secret letter, Ongkara belong to wijaksara and
modré letter. The paper is a study of Balinese letter in Balinese culture. The
paper refers to anthropological and
cultural linguistic theory.Based on their forms, Ongkara generally defferentiated
into two kinds, namely common form and special form. Common form of Ongkara is
known by public community. Special form of Ongkara is Ongkara which is
difficult to be understood by public community due to its form is complicated.
Letter of simple Ongkara belongs to wijaksara letter, whereas complicated one classified into modré
letter. Base of analyses, it is found that several forms of Ongkara
differentiated by community point of view, namely, common and special forms. From
the study of meaning point of view. There are two opinions of the meaning of
Ongkara in Balinese culture, namely public community and exclussive community
opinion or hunter of philosophy.
Keywords:
Ongkara, form, meaning
1.
Pendahuluan
Bahasa,
aksara, dan sastra Bali memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat Bali, yaitu sebagai identitas, lambang kebanggaan, dan alat
komunikasi. Perlu sebuah kesungguhan untuk pelestarian, pembinaan, dan
pengembangannya oleh pemerintah daerah dan masyarakat pendukungnya. Dalam hal
ini Pemerintah Daerah Bali telah mengambil langkah pelestarian, pembinaan, dan
pengembangan bahasa, sastra, dan aksara Bali dengan dikeluarkannya Peraturan
Daerah (Perda) Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 3 Tahun 1992, tentang
bahasa, aksara, dan sastra Bali. Hal itu menunjukkan bahwa Pemda Bali sangat
menaruh perhatian pada bahasa, aksara, dan sastra Bali. Dengan Perda tersebut
diharapkan nilai-nilai luhur bangsa, etika, estetika, dan moralitas yang
bersumber pada bahasa, aksara, dan sastra Bali dapat digali dan dikaji.
Khusus untuk aksara Bali yang juga
dijadikan objek dalam tulisan ini, pemerintah daerah telah melaksanakan usaha
pelestarian. Wujud nyata tindakan itu terlihat pada pemakaian aksara Bali pada
papan nama instansi pemerintah maupun swasta di Bali. Di samping, itu penulis
atau para peneliti di Bali juga telah melakukan usaha ke arah itu dengan
menulis dan melaksanakan penelitian tentang aksara Bali. Tulisan ini sedikit
berbeda dengan penelitian atau tulisan terdahulu karena mengkaji aksara Bali secara
khusus.
Berbicara masalah aksara Bali, berikut
adalah pendapat dua orang tokoh aksara Bali, yaitu W. Simpen A.B. dan I Gusti
Ngurah Bagus. Simpen (1979) dalam
bukunya yang berjudul Pasang Aksara Bali membedakan aksara Bali menjadi tiga, yaitu aksara
wreastra, swalalita, dan modré. Sementara itu, Bagus (1980)
membagi aksara Bali berdasarkan bentuknya menjadi dua, yaitu aksara biasa dan
aksara suci. Aksara biasa adalah aksara Bali yang digunakan untuk menuliskan
tentang kehidupan atau keperluan sehari hari, sedangkan aksara suci dibedakan
lagi menjadi dua, yaitu aksara wijaksara
dan aksara modré. Dalam hubungannya
dengan tulisan ini, aksara Ongkara dipandang sebagai aksara suci, yaitu aksara wijaksara dan modré.
Hal-hal yang dijadikan permasalahan adalah bentuk
dan makna Ongkara dalam budaya Bali.
Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mendeskripsikan bentu-bentuk ongkara dan mendeskripsikan makna yang
terkandung di dalamnya. Teori yang dijadikan acuan adalah teori linguistik
antropologi atau linguistik kebudayaan seperti yang dikemukakan oleh Sibarani (2004:50) , Foley dalam
Pastika (2002:90), Palmer (1996:36), dan Mbete (2004:25). Untuk memperoleh data dalam tulisan ini,
penulis menggunakan metode studi pustaka dan metode wawancara dengan informan
ahli.
2. Aneka Bentuk Ongkara dalam Budaya Bali
2.1 Aksara Ongkara pada Umumnya
Aksara Ongkara dalam
pengertian umum adalah aksara Ongkara yang diketahui oleh masyarakat Bali pada
umumnya. Ongkara tersebut tergolong
aksara wijaksara. Adapun Ongkara yang dimaksud adalah Ongkara Ngadeg, Ongkara Sungsang, Ongkara Gni, Ongkara Sabda, Ongkara
Mertha, Ongkara Pasah, dan Ongkara
Adu Muka. Untuk lebih jelas tentang Ongkara
pada umumnya, berikut adalah tabel bentuk
dan nama Ongkara yang dimaksud.
Tabel Bentuk dan Nama
Ongkara
No.
|
Bentuk
|
Nama Aksara
|
1.
|
þ
|
Ongkara Ngadeg
|
2.
|
|
Ongkara Sungsang
|
3.
|
ý
|
Ongkara Gni
|
4.
|
þ
|
Ongkara Sabda
|
5.
|
þ atau Ÿ
|
Ongkara Mertha
|
6.
|
|
Ongkara Adumuka
|
7
|
|
Ongkara Pasah
|
Berdasarkan tabel
tersebut bentuk aksara Ongkara dibedakan
menjadi tujuh, yaitu Ongkara Ngadeg,
Ongkara Sungsang, Ongkara Gni, Ongkara Sabda, Ongkara Mertha, Ongkara Adumuka, dan Ongkara
Pasah. Berikut adalah urainnya.
Ongkara Ngadeg adalah Ongkara yang ditulis tegak yang dibangun atas O-kara, ulu candra, dan
tedung. Dalam Lontar Angkus Prana, Saptongkara (3a) dan
Suastana (2003:35) disebutkan sebagai berikut:
Ongkara Ngadeg ngaran,
Wong ngaran manik,
Ka ngaran kayun,
Ra ngaran rahasya,
Ngadeg ngaran nunggal,
Maka
pangsengan malane.
Berdasarkan uraian di atas, Nyoka (1994:25)
menjelaskan bahwa Ongkara Ngadeg
memiliki fungsi sebagai pengesengan mala.
Kata mala itu berarti ‘kotoran, penyakit’
(Suparlan (1991:124). Jadi, fungsi aksara itu adalah untuk membasmi segala
kotoran maupun penyakit yang ada di dalam tubuh manusia.
Ongkara Sungsang adalah Ongkara yang ditulis terbalik. Kata sungsang (Warna, 1991:677), sama artinya dengan kata sungsyang (Suparlan, 1991:274), yaitu
‘terbalik’. Dalam hal ini kata sungsang mendapat
infiks –um- menjadi sumungsang
yang juga berarti terbalik. Jadi,
Ongkara Sungsang atau Sumungsang adalah Ongkara yang ditulis terbalik. Dalam Lontar Keputusan Dasaksara halaman 2a, Saptongkara
halaman 3a, dan Tutur Aji Saraswati halaman 20b disebutkan sebagai berikut:
“Ongkara Sungsang, magnah ring walung kapala,
walung ngaran galih, kapala ngaran gidat,
ardhacandrania magnah ring batuk,
batuk ngaran alis, nadhania ring granasika,
ngaran tungutung
irung, marep sor gnahnya”.
Terjemahan:
“Ongkara
Sungsang terletak di walung kapala,
walung
adalah tulang, kapala adalah dahi,
ardhacandranya terletak di batuk,
batuk adalah alis, nadha nya di granasika,
adalah ujung hidung, menghadap ke
bawah”
Penulisan aksara Ongkara yang terbalik itu mengisyaratkan bahwa fungsinya berbeda
dengan aksara Ongkara Ngadeg yang
telah disebut di atas. Dalam lontar Sapta
Ongkara hal 3a disebutkan bahwa Ongkara
Sumungsang adalah sebuah amertha
yang berfungsi untuk menghilangkan segala penyakit dan kotoran yang ada di
dalam tubuh manusia yang dikeluarkan melalui telapak kaki kiri yang dalam ajaran
kedyatmikan diibaratkan sebagai
samudra dan lewat urat-uratnya yang diibaratkan sebagai sebuah sungai.
Ongkara
Gni adalah Ongkara yang ditulis
tegak yang dibangun oleh aksara O-kara,
ulu candra, dan tanpa tedong. Ongkara Gni adalah aksara yang digunakan untuk menghidupkan api di
dalam tubuh manusia. Kata gni itu sendiri berarti api. Tempatnya adalah di
dalam dada. Umumnya, aksara ini digunakan dalam weda-weda (Nyoka, 1994:25).
Ongkara
Sabda adalah Ongkara yang ditulis tegak sama dengan Ongkara Ngadeg, yaitu Ongkara yang dibangun atas O-kara, ulu candra, dan tedong. Kata sabda berarti ‘kata, suara,
bunyi, bicara, menyebut (Suparlan, 1991:249). Ongkara Sabda dimaksudkan
sebagai aksara yang memiliki fungsi untuk membuat suara atau perkataan seseorang
itu menjadi berguna dan didengar oleh orang lain. Umumnya, aksara ini digunakan
dalam weda-weda (Nyoka, 1994:25).
Ongkara Mertha adalah Ongkara yang dituilis tegak. Ada
dua pendapat tentang bentuk aksara Ongkara ini. Menurut Suastana (2003), Ongkara Mertha memiliki bentuk yang sama dengan Ongkara Ngadeg maupun Ongkara Sabda. Sementara itu, menurut Nyoka (1994:25), Ongkara ini dibangun atas O-kara dengan kaki
yang bersimpul, ulu candra, dan tanpa tedong. Disebut Ongkara Mretha karena Ongkara ini merupakan kumpulan dari lima
mertha, yaitu: mertha sanjiwani, mertha
kamandalu, mertha kundalini, mertha mahamertha, dan mertha pawitra). Kelima amertha
itu dikenal dengan sebutan Panca
Mertha (Ripig, 2004:3).
Berdasarkan pengamatan penulis, Ongkara Mertha ditulis seperti ketiga
simbol tersebut di atas. Ongkara Mertha dimaksudkan
sebagai tubuh manusia. Perbedaan bentuk itu hanya pada ‘kaki’(bagian bawah)
dari aksara itu yang akhirnya tergantung kepada penulisnya sendiri. Yang
terpenting adalah makna yang terkandung di dalamnya yang akan diuraikan dalam
subbab tentang makna aksara Ongkara dalam
tulisan ini. Adapun fungsi dari Ongkara tersebut
adalah sebagai aksara awal atau pertama dari semua mantra Hindu karena dengan
bergabungnya lima mertha sebagai simbol Panca Maha Butha, diyakini
bahwa mantra itu telah memiliki kekuatan. Dengan kata lain, telah memiliki taksu.
Ongkara Adumuka adalah dua buah Ongkara yang ditulis dengan kepala
beradu atau saling berhadapan. Ongkara
Adumuka adalah bentuk aksara Ongkara yang memiliki bentuk terbalik dengan Ongkara Pasah. Kata adumuka
memiliki makna ‘kepala yang beradu’. Jadi, Ongkara
Adumuka adalah dua buah Ongkara yang ditulis dengan kepala yang
saling bertemu. Nyoka (1994:25) menyebutkan bahwa aksara tersebut adalah simbol
untuk I meme lan I bapa sane kari angemu
rasa. Penjelasannya diuraikan pada Ongkara
Pasah di atas. Yang perlu diingat bahwa kedua aksara tersebut saling
berkaitan. Dalam masyarakat Hindu dikenal dengan rwa bineda (dua hal yang berbeda), yang selalu ada di dunia ini,
yaitu: ingat dan lupa, baik dan buruk, siang dan malam, dan sebagainya.
Ongkara
Pasah adalah dua buah Ongkara yang ditulis bertolak belakang. Kata
pasah adalah kata dalam bahasa Bali yang memiliki makna ‘terpisah’. Ongkara Pasah adalah dua buah aksara Ongkara yang kepalanya
ditulis terpisah, atau bertolak belakang. Aksara ini adalah simbol I Nini lan I Kaki sane tan kari ngemu rasa (Nyoka,
1994:25). Istilah ngemu rasa artinya
‘memiliki budhi’. Budhi adalah
keinginan yang sudah terlihat dengan jelas. Keinginan yang belum jelas atau
masih kabur disebut dengan citta. Tan kari angemu rasa berarti ‘sudah tidak
memiliki keinginan yang jelas’. I Kaki dan I Nini dalam hal ini sama artinya dengan I Meme dan I Bapa dalam
penjelasan Ongkara Adumuka di bawah. Pada akhirnya, kedua aksara (Ongkara Pasah dan Adumuka) adalah untuk menunjuk sifat Tuhan sebagai cetana dan
acetana (ingat dan lupa). Dengan kata
lain adalah purasada dan ulunswi (rwa bineda) atau Ang dan Ah.
2.2 Aksara Ongkara Khusus
Selain bentuk-bentuk aksara Ongkara yang umum diketahui oleh
masyarakat Bali kebanyakan, dalam budaya Bali juga dikenal beberapa bentuk Ongkara yang hanya dipahami oleh sebagian masyarakat
pendukungnya yang mendalami masalah keagamaan. Bentuk Ongkara yang sifatnya khusus tersebut lebih banyak tersimpan di
dalam naskah lontar atau pun catatan-catatan pribadi. Dari sekian banyak bentuk
Ongkara khusus dalam budaya Bali, dalam kesempatan ini
penulis mencoba menyajikan beberapa saja, yaitu: Panca Ongkara, Sapta Ongkara, Ongkara Lawa Kumereb, Ongkara Asta
Komala, Ongkara Pasupati Arcana, Ongkara Tungtang Buana, Ongkara Ludra Gni, dan
Ongkara Panca Agni Adbutha.
2.2.1 Panca Ongkara
Panca
Ongkara dimaksudkan sebagai lima buah aksara Ongkara yang dalam penulisannya sebagai sebuah
satu-kesatuan yang utuh. Aksara tersebut adalah lambang Panca Brahma yang ditulis bersama-sama dengan lambang padma. Aksara pokok yang membentuk Ongkara
ini adalah lima buah aksara Ongkara, dua
aksara berbentuk terbalik dan tiga aksara ditulis tegak. Berikut adalah bentuk Ongkara yang dimaksud.
2.2.2 Sapta Ongkara
Sapta adalah kosa kata
bahasa Jawa Kuno yang sudah diserap ke dalam bahasa Bali yang berarti ’tujuh’
(Suparlan, 1991:256; Warna, 1991:611). Sapta
Ongkara/ Saptongkara adalah Ongkara yang dibangun dengan aksara O-kara sebagai aksara pokok, ulu
candra dengan windu tujuh buah, nada, dan tedong. Dengan kata lain, Sapta Ongkara adalah Ongkara yang
ditulis dengan windu bertumpuk tujuh.
Dalam ajaran welija (ajaran pengiwa), aksara tersebut merupakan cara penyusunan api (panglukunan geni) di dalam tubuh
manusia. Kata sapta ’tujuh’ itu digunakan dengan maksud api yang dikeluarkan
supaya memenuhi Sapta Loka (tujuh
lapisan dunia), yaitu: bhur loka, bwah
loka, swah loka, tapa loka, jana loka, maha loka, dan satia loka, dan Sapta
Patala (tujuh lapisan bumi), yaitu: sutala,
atala, witala, setala-tala, santala, tala-tala, dan rasa tala. Aksara yang masih ditempatnya dianggap kosong yang oleh
penganut ajaran pengiwa disebut welija.
Istilah Sapta
Ongkara juga dapat kita jumpai dalam tata cara pembuatan tirtha suci menurut Surya Sewana. Sapta Ongkara dalam hal ini diartikan sebagai tujuh sinar
suci Tuhan, yaitu: Brahma, Wisnu, Iswara,
Mahadewa, Sadarudra, Sadasiwa, dan
Paramasiwa. Maksudnya, untuk membuat tirtha
itu menjadi suci, maka harus memohon kepada ketujuh sinar suci Tuhan seperti
yang tersebut di atas. Berikut adalah bentuk Ongkara yang dimaksud.
2.2.3 Ongkara Lawa
Kumereb
Berbeda halnya dengan aksara Ongkara sebelumnya, keenam aksara
berikut adalah aksara yang diyakini oleh
penganut ajaran kebatinan sebagai aksara rahasia yang dianugerahkan oleh Ida Bhetara Dalem. Dalam kesempatan ini
penulis hanya uraikan bentuk dan fungsinya, sedangkan ucapannya tidak bisa
dijelaskan, karena hal itu sangat dirahasiakan dan dianggap sangat sakral.
Orang yang tidak berwenang tidak dibenarkan untuk menyampaikan kepada orang
lain. Dalam ajaran Yoga Kundalini, Ongkara
jenis ini disebut dengan cakra yang membentuk sumber kekuatan yang ada di
dalam tubuh manusia (Nala, 1994:52).
Ongkara Lawa Kumreb
adalah Ongkara yang terletak di dalam
tulang kepala manusia. Aksara ini digunakan untuk menghilangkan kekotoran (leteh) dalam diri manusia, menawarkan
racun, mengobati penyakit gila dan bebai.
Aksara ini adalah jenis aksara modré berbentuk bundar atau lingkaran
yang dibangun oleh aksara wa, O-kara, A-kara, sa, dan ta sebagai aksara pokok dan beberapa pengangge aksara bebentuk bisah,
nania, dan ulu candra. Berikut adalah bentuknya.
2.2.4 Ongkara Asta
Komala
Aksara ini terdapat pada
tangan kanan sebagai tempat Sanghyang
Panca Dewata. Ongkara Asta Komala dibangun
oleh aksara pokok la, ka, ta, dan pa. Sebagai aksara tambahan adalah bisah, suku, nania, tedong, ulu ricem, dan
ulu candra.
Ongkara
Asta Komala berfungsi untuk meringankan segala pekerjaan dan segala yang galak menjadi jinak. Adapun
bentuk Ongkara tersebut adalah sebagai berikut.
2.2.5 Ongkara Pasupati
Arcana
Ongkara Pasupati Arcana adalah Ongkara yang terletak di pangkal leher.
Sesuai dengan namanya, aksara itu berfungsi sebagai pasupati kata-kata dan
mantra. Juga sebagai pasupati segala
senjata. Selain itu juga berfungsi sebagai pembasmi segala hal yang menyebabkan
sakit (wisia).
Ongkara
ini
tergolong jenis aksara modré berbentuk
segiempat yang dibangun oleh aksara pokok A-kara
dan perlengkapan aksara bebentuk ulu
candra, ulu ricem, taling, tedung, bisah, dan nania. Berikut ini adalah bentuk aksara yang dimaksud.
2.2.6 Ongkara Tungtang
Buana
Ongkara ini dalam tubuh manusia terletak pada tangan
kiri. Dalam ajaran kandapatsari
diuraikan bahwa aksara ini merupakan junjungan para leyak di Bali sampai ke Nusa Penida. Aksara ini dapat digunakan untuk memerintah semua penganut
ilmu hitam dan dapat membunuh api leyak
yang sedang terbang.
Dilihat dari bentuknya, Ongkara ini termasuk jenis aksara modré berbentuk lingkaran. Sebagai aksara pokok pembentuknya adalah
ma, tha, ga, ka. Perlengkapan
aksaranya adalah taling tedung, bisah,
guwung, gantungan na, dan ulu ricem. Adapun
bentuk aksara tersebut adalah sebagai berikut.
2.2.7 Ongkara Ludra
Gni
Ongkara Ludra Gni adalah Ongkara
yang bersemayam di dalam dada. Aksara ini berfungsi untuk menghidupkan api
di dalam tubuh (api pengiwa). Selain
itu juga untuk membunuh musuh, mencipta pitra
dan butha, dan sebagainya.
Ongkara
ini
termasuk aksara modré berbentuk segiempat dengan kreasi tertentu. Aksara pokok yang
membentuk Ongkara ini adalah dasaksara
(Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa,
Ya), sa, O-kara, I-kara, ha, A-kara, dan ta. Perlengkapan aksaranya bebentuk ulu ricem, ulu candra, nania, taling tedung,
bisah, dan guwung. Berikut ini
adalah bentuk Ongkara yang dimaksud.
2.2.8 Ongkara Panca
Agni Adbutha
Panca
Agni Adbutha adalah Ongkara
yang terletak di bawah pusar yang diibaratkan sebagai dunia yang tak
termakan oleh usia. Fungsinya adalah untuk menetralkan segala yang menakutkan.
Ongkara
ini
termasuk jenis aksara modré berbentuk
lingkaran. Aksara pokok yang membentuk Ongkara
ini adalah A-kara, la, ca, wa, dan ma. Sebagai aksara tambahan adalah guwung, ulu candra, nania, suku, bisah, dan
ulu candra. Bentuknya adalah seperti
di bawah ini.
3. Makna Ongkara dalam Budaya Bali
Selain bentuk, dalam tulisan
ini juga dideskripsikan makna Ongkara. Makna
Ongkara dibedakan menjadi dua, yaitu
makna secara umum atau pandangan masyarakat umum dan secara khusus atau
pandangan penganut ajaran kebatinan (kediyatmikan).
Ongkara berdasarkan
pandangan umum atau masyarakat Hindu
kebanyakan, adalah simbol untuk Tuhan (Ida Sanghyang Widhi Wasa). Sepintas
lalu, aksara Ongkara adalah aksara
sederhana yang oleh khalayak sebagai aksara untuk Ida Sanghyang Widi Wasa.
Namun, sesungguhnya tidaklah sesederhana itu. Masyarakat awam memiliki ciri
cara berpikir yang oleh orang Jawa disebut nerimo.
Artinya, menerima segala sesuatu dengan ikhlas tanpa perlu mencari alasan atau
sebab musabab atau hal ikhwal
sesuatu. Berbeda hal dengan penganut
ajaran kebatinan yang selalu ingin mengetahui alasan atau hal dibaliknya.
Berikut adalah makna Ongkara menurut
kedua pandangan tersebut.
3.1 Makna Umum
Pada
umumnya masyarakat Hindu mengetahui bahwa Tuhan disebut dengan Ida Sanghyang
Widhi Wasa yang disimbolkan dengan aksara Ongkara (ý ).
Munculnya aksara Ongkara sebagai
simbol Tuhan atau Sanghyang Widhi Wasa adalah berdasarkan kesepakatan para ahli bahasa. Aksara itu merupakan hasil persandian Aksara Ang Ung Mang. Ang + Ung + Mang (AUM) = OM = ONG. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh
Nala (1994:109--110) yang mengatakan bahwa
aksara Ongkara atau ekaaksara itu adalah penyatuan dari triaksara (Ang, Ung, Mang), Ong sama dengan Om.
Titib (2001:442) menjelaskan sebagai
berikut, ”Omkara (Brahmabija atau Brahmawidya atau Pranawa) adalah sebuah suku kata yang merupakan persetujuan. Sebagai
sebuah persetujuan ia diucapkan secara sederhana, AUM. Sungguh mantra ini adalah realisasi, tentang sesuatu,
persetujuan” (Chandogya Upanisad, I.1.8)
Argawa dkk. (2001:6) dan I Nyoman
Kaler (1990:3) menjelaskan bahwa aksara Ongkara
adalah hasil peringkesan aksara Wreastra menjadi Dasaksara, Dasaksara menjadi Pancaksara,
Pancaksara menjadi Triaksara,
Triaksara diringkes menjadi Ekaksara, yaitu Ongkara. Selain aksara itu, juga dikenal Aksara Catur Dasaksara yang berjumlah 14 buah dan Sodaksara yang berjumlah 16 buah. Berikut adalah Aksara Sodaksara: Sang, Bang,
Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang, Ang, Ung Mang, Ong.
Sesungguhnya aksara-aksara itu adalah simbol Tuhan dan sinar suci-Nya. Aksara Ong itu sendiri adalah simbol Tuhan,
sedangkan aksara yang lainnya adalah simbol manisfestasi-Nya.
3.2 Makna Khusus
Berbeda halnya dengan pandangan umum,
penganut aliran kepercayaan atau kebatinan Hindu memandang aksara Ongkara, bukanlah simbol Tuhan atau Sanghyang Widhi Wasa. Ajaran
kebatinan Hindu yang penulis maksudkan adalah ajaran Kandapat Sari yang utuh, bukan seperti yang terdapat dalam
buku-buku yang terjual di toko-toko. Ajaran kebatinan tersebut berpendapat lain
tentang aksara ini. Sudah tentu ada alasan, mengapa mereka berani mengatakan
bahwa Ongkara itu bukan simbol untuk Sanghyang Widhi. Alasannya sebagai berikut.
Kembali kepada sifat-sifat Tuhan,
yaitu: Cadu sakti: wibhu sakti, jnana
sakti, prabu sakti, kriya sakti dan
Asta Sakti/Asta Iswarya: anima, lagima, mahima, prapti, prakamya, isitwa,
wasitwa, yatrakama wasitwa (Nesawan, 1987: 13—20). Selain itu, Tuhan memiliki sifat yang tak terpikirkan dan tak
terbayangkan (acintya). Kalau Tuhan
itu sudah tak terpikirkan dan tak terbayangkan, bagaimana mungkin bisa dibuat
aksara-Nya. Jadi, menurut pandangan penganut aliran kebatinan, Tuhan itu tidak
memiliki simbol. Dengan kata lain tidak ada simbol atau aksara untuk Tuhan. Namun perlu diingat bahwa aksara
Ongkara juga dikenal dalam ajaran
ini, tetapi bukan sebagai simbol Tuhan. Berbeda halnya dengan pendapat umum yang
meyakini bahwa aksara terakhir sebagai simbol Tuhan adalah Ongkara.
Menurut pandangan aliran kebatinan, Ongkara adalah aksara yang pertama, sedangkan
aksara yang terakhir yang bisa diberikan untuk unsur-unsur Tuhan adalah rwa bineda, yaitu Ang (ö ) dan Ah
(Á ;). Aliran ini juga mengenal
triyadasaksara
dan sodaksara. Aksara Triyadasaksara terdiri atas tigabelas aksara yang merupakan simbol
manifestasi Tuhan sebagai Sanghyang
Triyodasasaksi. Ketigabelas aksara itu mengisyaratkan bahwa Tuhan terdiri
atas tigabelas unsur. Ketigabelas unsur
itu disebut dengan Sanghyang
Tigawelas/Sanghyang Triyodasasaksi/Sanghyang Surya. Oleh karena itulah di
Bali dikenal nama Sanghyang Surya
yang terdiri dari tigabelas unsur Tuhan. Itu pula sebabnya, mengapa setiap umat
Hindu sembahyang dimanapun tempatnya selalu di dahului dengan memohon kepada Sanghyang Surya sebagai upasaksi, karena Beliaulah sesungguhnya unsur tertinggi Tuhan.
Logikanya, kemanapun kita memohon (kepada sinar suci-Nya yang manapun) kita
selalu harus memohon kepada yang tertinggi, yaitu Surya. Sekecil apapun upacara yang dilakukan hendaknya selalu
menyampaikan permakluman ke hadapan Sanghyang
Triyodasasaksi. Begitu pula halnya
dengan Sanghyang Ganapati yang selalu
harus dipuja karena sesungguhnya Beliau adalah sinar suci- Nya sebagai perusak
dan sekaligus penyelamat yang tertinggi.
Sebagai Sanghyang
Tigawelas, Beliau berstana di Padmasana.
Menurut aliran ini, Tuhan disebut dengan Sanghyang Giripati/Sanghyang Giri Nata. Beliau berstana di Pura Jagatnata, bukan di Padmasana. Adapun urutan Aksaranya sebagai berikut: Ong, Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang,
Sing, Wang, Yang, Ang, Ah. Aksara terakhir adalah Ang, Ah (rwa bineda, arda nareswari). Ingat dan lupa (Purasada dan Ulunswi).
Ulunswi
(sanghyang manumadi)
diyakini pula sebagai akhir perjalanan roh manusia untuk kemudian lahir kembali
(reinkarnasi). Itu pula lah sebabnya
mengapa tidak ada istilah atman yang
bersatu dengan Tuhan. Yang ada adalah atman
berada di sisi Tuhan. Manusia tidak akan pernah menyamai Tuhannya.
Kembali kepada masalah Ongkara.
Aksara Ongkara merupakan panunggalan Sanghyang Pancamaha Butha sebagai unsur Tuhan yang terkecil (bahasa
umumnya: akasa, bayu, teja, apah, pertiwi).
Dalam dunia kebatinan dikenal dengan
sebutan I Ratu Ngurah Tangkeb
Langit, I Ratu Wayan Teba, I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, dan I Ratu Ketut Petung. Kelima unsur ini merupakan
kumpulan lima macam mertha, yaitu: mertha sanjiwani, mertha kamandalu, mertha
kundalini, mertha mahamertha, dan mertha
pawitra. Apabila kita bisa menyatukan kelima unsur itu yang sebenarnya
adalah saudara kita yang hidup di tiga dunia dan saat ini telah menjadi dewa,
maka bisa dikatakan sesungguhnya bahwa dirinya telah menjadi seorang Rsi yang
serba bisa atau berpengetahuan yang lengkap.
Pernyataan lain yang mendeskripsikan
bahwa aksara Ongkara itu adalah
simbol untuk Sanghyang Panca Maha Butha dapat dijumpai dalam tatacara pelaksanaan dan
kutipan mantra caru Rsi Ghana berikut
ini.
Caru Rsi Ghana :
Sega 9 pangkon mawadah tamas ageng, malawa don
nagasari, genahnya manut pangideran sega
soang-soang inucap, merajah kadi iki:
Madya = Ong ( ýo )
Purwa = Ang (ö )
Gneya = Re (Ï )
Daksina = Si (]i )
Neriti = Gha (F )
Pascima = Na (x)
Wayabya = Byo (Ebêo )
Uttara = Na (n )
Ersania = Mah (m; )
Kutipan
Mantra Caru Rsi Ghana :
Ong Ang Resi Ghana
byonamah,
Ong hana Sira
Sanghyang Rsi Ghana,
Bentuknia kaya jaladhi
sangka,
Matan Ira dumilah,
Panca
Maha Butha ring tengah,
Hangilangaken satru
kala traya,
Tuju, teluh, tranjana,
Kalukat den Ira
Sanghyang Rsi Ghana,
Ong Sa Ba Ta A I Na Ma
Si Wa Ya.
Ong etat mantram
prawaksyanam,
Madya
Ongkara sang stitah,
Ang-kara purwa sang
stopi,
Aghne uesya dre
narakah... dst. (Suandra, 1978:35
–36)
Dalam baris ke-5 bait pertama yang
berbunyi “Panca Maha Butha ring tengah”, dan
baris ke-2 bait kedua mantra di atas “Madya
Ongkarasang stitah”, mengandung makna bahwa Ongkara itu terletak di tengah dan merupakan simbol Sanghyang Panca Maha Butha.
Bukti lain yang menjelaskan bahwa Ongkara bukanlah
simbol Tuhan tampak dalam
beberapa contoh kain penutup mayat atau rurub
kajang. Dalam kajang aksara Ongkarai tu
tidak ditulis paling atas yang menyatakan kedudukannya paling tinggi, namun
ditulis ditengah-tengah. Justru, yang menjadi puncak adalah aksara Ang (ö ), dan Ah (Á ;). Hal itu menyatakan bahwa aksara yang terakhir adalah Ang dan Ah.
Berdasarkan penjelasan di atas, Tuhan
terdiri atas tigabelas unsur dan disimbolkan dengan tigabelas aksara suci,
yaitu: Ong, Sang, Bang, Tang, Ang, Ing,
Nang, Mang, Sing, Wang, Yang, Ang, Ah. Sedangkan aksara Ang, Ung, Mang adalah penyatuan
keseluruhannya. Secara Logika,
apabila ketigabelas aksara itu digabung, mungkinkah akan menghasilkan aksara Ong? Jawabnya, tidak mungkin. Jangankan
ketigabelas unsur itu, tiga unsur saja, yaitu: Ang, Ung, Mang apabila digabungkan tidak akan mungkin menjadi Ong. Dengan kata lain, ketiga simbol
(air, api, dan angin) itu apabila digabung hanya akan menghasilkan dua
kemungkinan.
Begitupula pendapat aliran ini
terhadap mantra. Semua mantra itu harus didahului dengan aksara Ongkara (ýo) yang terbentuk
oleh O-kara, ulu candra, dan tedong,
bukan Omkara (O-kara dan ulu ricem) karena aksara Om itu tidak bermakna secara filsafat,
hanya merupakan hasil persandian atau penggabungan dari perkataan “A”, “U”, dan
“M” = AUM (Sugiarto, tt. 28). Ongkara yang
dimaksud dalam hal ini adalah Ongkara yang terbentuk oleh lima unsur, yaitu O-kara, ardha candra, windu, nada, dan tedong.
Jadi, keliru kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa Ongkara yang mengawali mantra adalah Ongkara yang tanpa tedong karena
itu bukanlah penyatuan lima amertha
yang akan menghidupkan mantra itu.
Sekali lagi, aksara Ongkara tidak sama dengan Om. Ongkara
memakai ulu candra (mengandung
bunyi Ng) dan Omkara memakai ulu ricem
(berbunyi Em). Dalam penulisannya
terutama di dalam ajaran kebatinan aksara Ongkara
itu tidak bisa diganti dengan Omkara,
karena kedua aksara itu memiliki
makna yang sangat berbeda.
4.
Penutup
Berdasarkan kajian di atas dapat diketahui
bahwa Ongkara adalah salah satu aksara Bali yang tergolong
ke dalam aksara suci yang disebut pula aksara pranawa. Ongkara dalam hal ini tergolong ke dalam aksara Wijaksara dan Modré.
Berdasarkan bentuknya, Ongkara dibedakan menjadi
dua, yaitu Ongkara secara umum yang bentuknya sederhana dan Ongkara khusus yang rumit dan susah dimengerti. Ongkara secara umum dibedakan menjadi tujuh, yaitu Ongkara Ngadeg, Ongkara Sungsang, Ongkara
Gni, Ongkara Sabda, Ongkara Mertha, Ongkara Adumuka, dan Ongkara
Pasah. Sebagai Ongkara khusus,
dalam artikel ini disajikan delapan contoh Ongkara,
yaitu Panca Ongkara, Sapta Ongkara,
Ongkara Lawa Kumereb, Ongkara Asta Komala, Ongkara Pasupati Arcana, Ongkara
Tungtang Buana, Ongkara Ludra Gni, dan Ongkara
Panca Agni Adbutha.
Berdasarkan
maknanya Ongkara dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu makna secara umum (orang kebanyakan) dan makna
secara khusus (penganut ajaran kebatinan/kediyatmikan).
Ongkara sebagai aksara suci dalam
budaya Bali diuraikan berdasarkan dua sudut pandang, yaitu pandangan masyarakat
umum dan pandangan masyarakat khusus. Secara umum, Ongkara adalah simbol Tuhan, sedangkan secara khusus, Ongkara adalah simbol manifestasi Tuhan
yang terkecil, yaitu Sanghyang Panca Maha
Butha.
Daftar Pustaka
Argawa
dkk. 2001. “Laporan Dokumentasi Koleksi Aksara Bali ”.
Denpasar: Balai Bahasa.
Bagus,
I G. N. 1980. “Aksara dalam Kebudayaan Bali
suatu Kajian Antropologi”.
Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Antropologi Budaya.
Denpasar: Fakultas Sastra Unud.
Mbete, Aron Meko.
2004. Lingusitik Kebudayaan: Rintisan
Konsep dan Beberapa Aspek Kajiannya. (Dalam Bawa, I Wayan dan I Wayan Cika
(Penyunting): Bahasa dalam Perspektif
Kebudayaan). Denpasar:
Universitas Udayana.
Nala,
I G N. 1994. Usada Bali. Denpasar:
Upada Sastra.
Nesawan.
1987. Penuntun Pelajaran Pendidikan Agama
Hindu. Bandung: Ganeca exact.
Nyoka.
1994. Krakah Modré –II. Denpasar:
Percetakan dan Toko Buku Ria.
Pastika,
I Wayan. 2002. Nuansa Gender Dalam Bahasa
Kita.(dalam Srikandi: jurnal studi jender, pol. 2 No.2). Denpasar: Pusat
Studi Wanita Lembaga Pendidikan Universitas Udayana.
Palmer,
Gary B. 1996. Toward A Theory Of Cultural Linguistics. USA: The
University of Texas Press.
Pemda
Tingkat I Bali . 1992. “Perda No. 3 Tahun 1992,
tentang Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali”.Denpasar: Pemda Tingkat I Bali.
Ripig,
Ni Wayan dkk. 2004. Etika Penataan Banten
dan Penataan Banten Suci.
Denpasar: Yayasan Dharma Acarya.
Simpen
AB, I Wayan. 1979. Pasang Aksara Bali.
Denpasar: Dinas Pengajaran Propinsi Dati I Bali.
Suandra,
I Made. 1978. Tuntunan Gunaning
Masasawahan. Tabanan: Parisada Hindu Darma Kabupaten Tabanan.
Suastana,
I Made. 2003. “Kanda Empat Sari”. Denpasar.
Sugiarto,
R. t.t. Maitri Upanisad. Jakarta:
Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.
Suparlan,
Y.B. 1991.Kamus Kawi Indonesia. Yogyakarta:
Kanisius.
Titib,
I Made. 2001. Teologi & Simbol-Simbol
Dalam Agama Hindu. Surabaya: Litbang PHDI Pusat dan Paramita.
Tim
Penyusunan Kamus Bali-Indonesia. 1991. Kamus
Bali – Indonesia. Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I Bali.
Om Swastyastu bli, ijin share..
BalasHapusTapi sebelumnya tiang mohon kejelasan gambar dari masing2 ong kara, karena banyak yg tdk terlihat gambarnya..
TULISANNYA BAGUS. Terima kasih pencerahannya.
BalasHapusGambling addiction? Find out how to stop it at home and find answers
BalasHapusA Gambling addiction is 익산 출장샵 a problem, 충청북도 출장마사지 so don't get 이천 출장안마 caught on the 경주 출장안마 myths. For example, some people only report gambling as a problem 서울특별 출장마사지 and cannot be