Rabu, 06 Februari 2013

Ritual Rsi Ghana


RITUAL RSI GHANA DALAM MASYARAKAT BALI:
SEBUAH ANALISIS SEMIOTIK SOSIAL

I Gde Wayan Soken Bandana


1. Pendahuluan
Bahasa Bali dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah memiliki fungsi sebagai (1) lambang identitas daerah Bali, (2) lambang kebanggaan daerah Bali, dan (3) alat komunikasi dalam keluarga dan masyarakat Bali. Di samping fungsi-fungsi umum tersebut, bahasa Bali juga memiliki fungsi sebagai bahasa pengantar di dalam kegiatan ritual masyarakat Bali. Sejalan dengan itu, Malinowski (dalam Sibarani, 2004:44) membedakan fungsi bahasa menjadi dua, yaitu (1) fungsi pragmatik, yaitu fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, dan (2) fungsi ritual, yaitu fungsi bahasa yang bersangkutan dengan kegiatan upacara atau keagamaan dalam suatu kebudayaan. Bahasa-bahasa dalam fungsinya yang berhubungan dengan ritual masyarakat Bali dikenal dengan mantra, japa, dan saa.
Bahasa Bali dalam fungsi ritual diartikan sebagai sebuah wacana berbahasa Bali di dalam kegiatan ritual, yang dalam hal ini adalah ritual Rsi Ghana. Ritual Rsi Ghana umumnya dikenal sebagai Caru Rsi Ghana. Menurut Mardiwarsito (1978:49), kata caru diartikan sebagai ‘kurban’. Kata caru  identik dengan upacara bhuta yadnya yang berarti kurban suci yang ditujukan kepada para bhuta  atau bhuta kala.  Rsi  adalah orang atas usahanya melakukan tapa, yoga, dan semadi, memiliki kesucian yang dapat menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi sehingga dapat melihat hal-hal yang sudah lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang (Wiana, 2001:16). Ghana adalah  simbol dewa bencana (vighnesvara), mahatahu (vinayaka), dan pengelukat (pengeruat) (Atmaja, 1999: 35-90). Caru Rsi Ghana  adalah usaha manusia untuk membuat hubungan yang harmonis antara keadaan diri, lingkungan, dan Tuhan, yang diwujudkan dalam bentuk atau wujud sesaji dengan menghadirkan manifestasi Tuhan sebagai Dewa Ghana.
Rsi Ghana berarti golongan atau kelompok resi (Mardiwarsito, 1978:279). Rsi Ghana terdiri atas kata rsi dan ghana. Rsi berarti ‘pendeta; dewa’. Ghana berarti  ‘makhluk setengah dewa; angkasa; langit’ (Suparlan, 1988:38,79). Yang dimaksud dengan kelompok resi adalah kekuatan Dewata Nawa Sanga yang bergabung menjadi satu dalam tubuh Dewa Ghana. Makhluk setengah dewa dimaksudkan sebagai wujud Dewa Ghana yang berupa manusia berkepala gajah yang datang dari langit dengan kekuatan para dewa. Jadi, Rsi Gana berarti Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Ghana yang turun ke dunia sebagai penghalau rintangan atau penyelamat. Ritual Rsi Ghana dimaksudkan sebagai sebuah ritual dengan menghadirkan Dewa Ghana sebagai penyelamat atau pelindung. Dalam hubungannya dengan tulisan ini, Dewa Ghana dihadirkan di lahan pertanian atau sawah untuk menjauhkan rintangan dan memulihkan kesuciannya karena sebelumnya dianggap kotor atau tercemar oleh adanya suatu kejadian, misalnya orang meninggal, pohon tumbang, dan tanaman disambar petir. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah wacana ritual Rsi Ghana yang dilaksanakan di sawah.
Carik punika kamanggehang genah sane suci. Nika mawinan I krama subak nenten lali ngamargiang sukreta agama sane kasungkemin, anggen nyejerang kasucian ring carik, maduluran antuk upacara. Upacarane punika kalaksanayang ritatka makarya ring carik, wentene kabaya-baya ring carik, makadi wong mati, sander kilap, miwah sane lianan sane ngranayang leteh ring carike.

Yaning wenten carik sinalah tunggil kehanan upami: wong padem salah pati, miwah padem pangkan sewosan, kabawos carik punika  kebaya-baya, sane ngawinang letuh ring carik. Cutet ipun, sehanan barang-barang sane kaucap leteh manut agama, tan kadadosang genahang ring carik. Yaning wenten cihna kaletuhan kadi punika, mabwat pisan kawentenang pangupahayu, inggih punika Upacara Rsi Ghana, sane kalaksanayang olih sang sulinggih (TGMSS:35).

Terjemahan bebas:

            Sawah itu diyakini sebagai tempat yang suci. Itulah sebabnya warga subak tidak lupa menjalankan kewajiban agama yang dijunjung untuk menjaga kesucian di sawah dengan menjalankan ritual. Ritual tersebut dilaksanakan setiap mengadakan kegiatan atau bekerja di sawah. Adanya mara bahaya di sawah,  seperti orang yang meninggal disambar petir dan pohon tumbang  menyebabkan keadaan di sawah menjadi kotor.

Jika salah satu keadaan tersebut terjadi, misalnya ada orang meninggal dengan tidak wajar, atau meninggal dengan sebab lain, sawah itu dikatakan terkena mara bahaya. Dengan kata lain, segala benda yang disebut kotor menurut agama, tidak boleh ditaruh di sawah. Kalau ada tanda-tanda kotor atau tidak baik seperti itu, seharusnya dilaksanakan ritual untuk memulihkan kesuciannya, yang disebut dengan Rsi Ghana  yang dilaksanakan oleh seorang   pendeta.

Umumnya, ritual Rsi Ghana disebut caru. Namun, kalau diteliti lebih lanjut penyebutan kata caru tidak tepat. Caru adalah ritual yang ditujukan untuk nyomia Bhuta Kala’menempatkan Bhuta Kala  pada tempat-Nya’.  Dalam ritual Rsi Ghana  persembahan dan permohonan ditujukan kepada Dewa Ghana sebagai Dewa Wighnaghna halangan’. Oleh karena itu, ritual Rsi Ghana  itu lebih tepat kalau disebut ritual penulak baya ‘penolak mara bahaya’, agar kita terhindar dari berbagai halangan dalam hidup ini (Wiana, 2001:198--199).
            Dalam pelaksanaannya, Ritual Rsi Ghana  itu memiliki tingkatan-tingkatan seperti halnya ritual yang lain, yaitu nistha ‘sederhana’, madia ‘menengah’, dan utama’besar/mewah’. Tergolong nistha ‘sederhana’, kalau ritual itu menggunakan caru panca sato ‘caru lima ekor ayam’ atau eka sato ‘satu ekor hewan’ ditambah itik putih. Tergolong Madia ‘menengah’, kalau menggunakan caru panca sanak ‘lima ekor binatang (angsa,kambing, babi, anjing, sapi)’, ditambah anjing bangbungkem‘merah kecoklatan’. Tergolong utama ‘besar’, kalau menggunakan caru panca kelud (caru yang lebih besar dari panca sanak) (Wiana, 2001:201; Wikarman,1998:17). Ritual Rsi Ghana  yang tergolong sederhana bisa juga menggunakan caru ayam berumbun ditambah satu ekor itik putih. Hal itu  paling mudah dilaksanakan dan paling banyak dipilih oleh masyarakat karena biayanya paling murah. Yang penting adalah hakikat atau tujuan ritual itu sendiri. Pada beberapa daerah di Bali, ritual tersebut tidak harus dilakukan oleh seorang pendeta, tetapi cukup oleh seorang Pemangku Pura Dalem ‘…’ yang oleh masyarakat setempat diyakini sebagai seseorang yang boleh atau berhak memimpin ritual apa saja.
Penelitian yang berhubungan dengan masalah ritual Rsi Ghana memang sudah pernah dilakukan oleh penulis atau peneliti terdahulu, tetapi sifatnya sangat umum. Oleh karena itu, tulisan yang sifatnya khusus perlu dilakukan.
Berdasarkan uraian di atas, ada dua masalah yang dikaji dalam tulisan ini, yaitu (1) bagaimanakah makna mantra ritual Rsi Ghana tersebut? (2) bagaimanakah makna wujud persembahan dalam ritual Rsi Ghana tersebut? Berdasarkan masalah itu pula, dapat dirumuskan tujuan khusus dari tulisan ini, yaitu untuk (1) mendeskripsikan dan mendalami makna mantra dalam ritual Rsi Ghana dan (2) mendeskripsikan makna  wujud-wujud persembahan dalam ritual Rsi Ghana.
Adapun teori yang digunakan dalam tulisan ini adalah teori semiotik sosial yang mengacu kepada pendapat para ahli seperti Saussure, (1957:16);  Hawkes, (1978:132); Halliday & Roqaiya Hasan, (1992:5); Halliday (1978:25). Menurut Riana (2003:11), kata secara semiotik sosial memiliki makna tersurat atau tekstual dan tersirat atau kontekstual. Untuk memperoleh data yang disajikan dalam tulisan ini digunakan metode studi pustaka dan wawancara. Dengan studi pustaka penulis mencari buku-buku, naskah, atau pun lontar yang berhubungan dengan masalah yang dikaji.  Wawancara dilakukan dengan informan ahli untuk memperoleh data yang akurat dan dapat dipercaya, serta diakui oleh masyarakat umum. Data yang didapat kemudian dianalisis melalui beberapa tahap, kemudian disajikan dengan menggunakan metode formal dan informal (Sudaryanto, 1982:16).



2. Makna Mantra Ritual Rsi Ghana
            Sebelum menguraikan makna, sebaiknya perlu diketahui  pengertian tentang mantra  serta perbandingannya dengan stuti, stava, puja (pujian) atau stotra’kakawin pujian’, sutra’kitab pedoman’, dan sloka. Mantra adalah Weda, sehingga Kitab Catur Weda disebut Kitab Mantra (Wiana, 2000:124); (Pudja, 1978:13). Mantra digolongkan menjadi empat bagian dengan nama Rig, Yajur, Sama, dan Atharwa (Pandit, 1953:10). 
Mantra pada umumnya adalah untuk menyebut syair-syair yang merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa, yang disebut Sruti. Dalam hal ini, yang termasuk dalam pengertian mantra adalah seluruh syair dari kitab-kitab Samhita (Rgveda, Yajurveda, Samaveda, Atharvaveda), Brahmana (Sataphata dan Gopatha), Aranyaka (Taittiriya dan Brhadranyaka), dan seluruh Upanisad (Chandogya, Isa  dan Kena). Di samping pengertian mantra seperti itu, syair-syair untuk pemujaan yang diambil dari sebagian kitab-kitab Itihasa ‘dongeng suci,kepahlawanan’, Purana ‘cerita-cerita kuno’,  Agama dan Tantra ‘ilmu gaib’, termasuk pula mantram pandita Hindu di Bali, juga disebut mantra. Mantram-mantram itu digolongkan ke dalam kelompok stuti, stava, stotra, dan puja. Yang dimaksud dengan sutra adalah kalimat-kalimat singkat yang mengandung makna seperti dalam Yogasutra,  sedangkan sloka adalah syair-syair yang dipakai dalam kitab-kitab Itihasa  dan Purana, termasuk seluruh kitab-kitab sastra agama (Titib, 1997: 29--30).  

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa yang termasuk mantra adalah syair-syair dalam kitab suci Weda.  Namun, berbeda halnya dalam tulisan ini, yang dimaksud mantra sebenarnya adalah sloka dalam pengertian sebenarnya. Berikut ini adalah mantra ritual Rsi Ghana.
“Ong Ang Rsi Gna byonamah,
Ong hana Sira Sang Hyang Rsi Ghana,
rupania kaya jaladi sangka,
matan ira dumilah,
Panca Maha Bhuta ring tengah,
hangilang aken satru,
kala Traya,
tuju teluh trangjana.
kalukat den Ira Sang Hyang Rsi Ghana,
Ong Sa Ba Ta A I Na Ma Si Wa Ya.

Ong etat mantram  prawaksyamam,
madya Ong Kara sang stitah,
Ang Kara purwa sang stopi,
aghneya sya dre narakah.
Sikara daksina jnyanyah,
nairityang ghwa sang stitah,
tawat nakara pascima,
Byoh cikara sang stitah.

Nakarottara wi jneyah,
Makara saniya rewaca,
tatah mantram  neaset widwan,
Ghanarsi namo raksane.

dwija geni nayanah bayu,
guno wiprendriyo bhujah,
pramondo rupa,
nesi candra resi catu.

Ong indah ta Sang Hyang Rsi Ghana,
tulung manusan Ira,
katibanin mrana ageng,
haweha urip manusanta,
mwang dirghayusa,
Ong sidhirastu ya namah swaha”(Sri Purana: 46; TGMSS:36).



Terjemahan bebas:

            Ya, Tuhan, yang dipuja sebagai Sang Hyang Rsi Ghana,
Ya, Tuhan, sebagai  Sang Hyang Rsi Ghana,
Rupa-Mu seperti lautan yang luas,
Mata-Mu bagai api yang menyala,
Panca Maha Butha berada di tengah,
menghilangkan musuh,
roh jahat,
tuju,
teluh ’ilmu sihir’
trangjana ’ilmu sihir’
diruwat oleh Sang Hyang Rsi Ghana,
terpujilah Tuhan sebagai Dasa Dewata.

            Ya, Tuhan, yang disimbolkan dengan aksara Ongkara yang terletak di tengah,
Angkara di timur,
Re di tenggara,
Sikara di selatan,
di barat daya adalah Gha,
Nakara  di barat,
Byo  di barat laut,
Na  di utara,
Ma di timur laut. 
Doa yang dipanjatkan itu agar dimaklumi oleh Beliau Rsi Ghana,
sebagai pendeta yang menjaga mata api,
yang berkhasiat suci demi kepuasan yang nikmat,
dewa juga tiada lain bagaikan percikan bulan seperti saat turunnya Dewi Sri.

            Ya, Tuhan, sebagai Sang Hyang Rsi Ghana,
tolonglah hamba-Mu ini,
yang sedang terserang mara bahaya,
berilah kehidupan kepada hamba-Mu ini,
dan juga umur panjang,
Ya, Tuhan, kabulkanlah permohonan hamba.

Dalam mantra di atas tercermin bahwa Dewa Ghana atau Ghanesa atau yang di Bali lebih dikenal sebagai Sang Hyang Ghanapati memiliki semua kekuatan para dewa yang lainnya. Hal itu dapat kita lihat dalam kober Ghana yang sudah tidak asing lagi bagi  umat Hindu di Bali. Dalam kober (gambar  dalam kain/kertas) yang digunakan pada upacara caru Roghasangharabhumi dijumpai bahwa Dewa Ghana itu menyandang semua senjata Dewa yang lainnya, seperti gada milik Dewa Brahma, bajra milik Dewa Iswara, cakra milik Dewa Wisnu, trisula milik Dewa Sambu, dan  nagapasa milik Dewa Mahadewa. Ganesa sebagai vighnevara atau vighnaghna tidak saja bermakna sebagai penghalang atau pelindung manusia dari serangan musuh dalam bentuk manusia, tetapi juga musuh dalam arti luas, termasuk di dalamnya hama dan penyakit tanaman. Pemaknaan ini tidak bisa lepas dari adanya kenyataan bahwa hama dan penyakit tanaman adalah musuh yang amat merugikan bagi masyarakat petani. Serangan hama dan penyakit tanaman bisa menyebabkan gagal panen yang pada akhirnya dapat menimbulkan bahaya kelaparan, bahkan kematian. Dengan demikian, pengendalian hama dan penyakit tanaman amat penting karena sangat menentukan keberhasilan para petani bercocok tanam (Untung 1993, dalam Atmaja, 1999:60).
            Mantra di atas juga menguraikan bahwa ritual Rsi Ghana terdiri atas beberapa aksara suci yang tempatnya sudah ditentukan, yaitu aksara Ongkara yang terletak di tengah, Angkara di timur, Re di tenggara, Sikara di selatan, di barat daya adalah Gha, Nakara  di barat, Byo  di barat laut, Na  di utara, dan Ma di timur laut.  Mantra itu hanya ditujukan kepada Dewa Ghana. Dengan demikian, si pengucap mantra dan keluarganya berharap bisa terhindarkan dari semua hama, penyakit tanaman, dan bahaya yang lainnya sehingga mereka selamat dan berumur panjang. Selanjutnya, simbol suci dalam Caru Rsi Ghana tersebut dapat dibagankan sebagai berikut.
Bagan 1. 
Aksara Suci dalam Caru Rsi Ghana
dan Dewata Nawa Sanga

          BL                                                   U                                             TL            
       Ebêo                                                                                                                                                                          n                                                                                                                                                                                       m
        (Byo)                                               (Na)                                           (Ma)
     Sangkara                                       Wisnu                                        Sambu
           





         B                                                              TN                                                   T
         x                                          þ                                                                                                                                                                            ö
      (Na)                                               (ONG)                                             (Ang)
         Mahadewa                                              Siwa                                             Iswara        
 




       BD                                                   S                                                     TG
      F                                                    ]I                                                                                                                                                                                                                  Ï
              (Gha)                                          (Si)                                                  (Re)
            Rudra                                        Brahma                                       Mahesora
                                                                                                                                      U

Keterangan:
                        = arah mata angin                                                                                  S
                        = hal yang dipentingkan


  TN= Tengah, T= Timur, TG= Tenggara, S= Selatan,  BD= Barat Daya, B= Barat,
  BL= Barat Laut, U= Utara, TL= Timur Laut.




3. Makna Wujud Persembahan Ritual Rsi Ghana

Makna yang dimaksud dalam hal ini adalah makna yang tersurat dan makna yang tersirat. Makna tersurat adalah makna yang ada  atau dapat dilihat pada kamus, sedangkan makna tersirat/kontekstual adalah makna yang tidak terdapat dalam  kamus, tetapi dapat ditelusuri dengan melihat konteksnya (Halliday, 1985 dalam Riana, 2003:10).
Sementara itu, Ullman (1985:90--91) menyebut teori kontekstual sebagai teori operasional yang berkaitan dengan makna dalam tutur, yang berbeda dengan teori referensial yang berkaitan dengan makna dalam bahasa. Makna kontekstual adalah makna sebuah kata yang berada di dalam satu konteks. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa itu. Makna kontekstual atau makna situasional sering juga disebut makna gramatikal (Chaer, 1990:64 ; 1994:290).
Makna kontekstual yang dimaksud dalam tulisan ini adalah (1) makna yang ada di balik wujud-wujud persembahan dalam ritual Rsi Ghana dan (2) makna yang berhubungan dengan konteks ritual Rsi Ghana. Sebelum menguraikan makna yang terkandung di dalam wujud-wujud persembahan ritual Rsi Ghana yang tergolong sederhana itu, perhatikan wacana berikut ini.

Munggwing banten sane katur: 1) ring sanggah tutwan katur banten  Surya : suci, peras daksina, lan banten Ghana: tumpeng putih maulam daging itik maguling mabungkus antuk kain putih, kober Bhatara Ghana katancebang ring puncuk tumpeng, sega pangkon 9 tanding mawadah tamas ageng malawa don nagasari, genahne manut pangideran sega soang-soang, marajah: Madya =Ong, Purwa=Ang, Gneya=Re, Daksina=Si, Neriti=Gha, Pascima=Na, Wayabya=Byo, Uttara=Na, lan Ersania=Mah; ulamne mangge bebek, sega soang-soang tancebin antuk sekar tunjung. Sami magenah ring tempeh merajah padma matulis dasaksara, 2) caru ayam berumbun maolah dados 5  tanding, malayang-layang, bebek putih maolah dados 5 tanding, pepusuhne dados urab putih, atine dados urab barak, ungsilane dados urab kuning, nyaline dados urab selem, awaknia dados urab berumbun, genahnia manut pangider-ider. Sesayut pangambean, prascita luwih, sasayut durmanggala, pamiakala, dulurin pamangguh pamali (TGMSS:35).

Terjemahan bebas:

Adapun sajen yang dihaturkan adalah 1) di  sanggah tutwan  dihaturkan sajen  Surya : suci, peras daksina, dan sajen Ghana: tumpeng putih  dengan lauk guling itik yang dibungkus kain putih, kober Bhatara Ghana  ditancapkan di puncak tumpeng,  nasi cetakan 9 tanding  yang ditaruh di atas tamas  besar beralaskan daun nagasari,  tempatnya menyesuaikan, bertuliskan di tengah=Ong, Timur=Ang, Tenggara=Re,  Selatan=Si, Barat Daya=Gha, Barat=Na, Barat Laut=Byo, Utara=Na, dan Timur Laut=Mah;  dengan lauk itik, masing-masing nasi ditancapi bunga teratai. Semua ditempatkan di tampah yang bergambar padma dan bertuliskan dasaksara, 2) caru ayam berumbun diolah menjadi 5 tanding, lengkap dengan kulitnya, bebek putih diolah menjadi 5 tanding, jantungnya menjadi urap putih, hatinya menjadi urap merah, limpanya menjadi urab kuning, empedunya menjadi urab hitam, badannya menjadi urab berumbun ‘pancawarna’ , tempatnya menurut arah mata angin. Sesayut pangambean, prascita luwih, sasayut durmanggala, pamiakkala,  ditambahkan pamangguh pemali.

Berdasarkan wacana di atas, wujud ritual Rsi Gana yang tergolong sederhana adalah sebagai berikut: suci, peras daksina, tumpeng putih,  dengan lauk guling itik yang dibungkus kain putih, kober Bhatara Ghana, nasi cetakan sembilan tanding tempatnya menyesuaikan, bertuliskan: di Tengah=Ong, Timur=Ang, Tenggara=Re,  Selatan=Si, Barat Daya=Gha, Barat=Na, Barat Laut=Byo, Utara=Na, dan Timur Laut=Mah;  dengan lauk itik, masing-masing nasi ditancapi bunga teratai. Tampah  bergambar padma dan bertuliskan dasaksara, caru ayam berumbun diolah menjadi 5 tanding, bebek putih diolah menjadi 5 tanding, jantungnya menjadi urap  putih, hatinya menjadi urap merah, ungsilane ‘limpanya’ menjadi urab kuning, empedunya menjadi urap hitam, badannya menjadi urap lima warna, tempatnya sesuai arah mata angin. Sesayut pangambean, prascita luwih, sesayut durmanggala, pamiakkala, dan pamangguh pemali.
Peras dalam lontar Yajnya Prakerti disebutkan sebagai lambang Hyang Triguna-Sakti. Artinya, sajen peras  itu melambangkan permohonan kepada Tuhan agar si pemohon mendapat kekuatan suci Tuhan untuk mengendalikan Tri Guna yang menguasainya. Kata peras dapat diartikan ‘sah’ atau ‘resmi’. Apabila kumpulan sesajen tidak dilengkapi dengan peras,  upacara itu dikatakan tan perasida ‘tidak sah’, tidak berhasil’ (Titib, 2001:151-152). Banten suci mengandung makna sebagai lambang kesucian Tuhan yang akan memberikan kesucian lahir bathin.
Daksina adalah lambang sthana Hyang Widhi. Daksina juga merupakan lambang persembahan kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Surya, yang dalam kehidupan masyarakat Bali juga dikenal dengan Sanghyang Tigawelas atau Sanghyang Triyodasasaksi. Dalam hal ini, Beliau adalah saksi atas segala hal yang dilakukan oleh umat-Nya. Menurut Wiana (2001:22-26), upacara tidak akan sukses apabila tidak menggunakan daksina karena daksina  adalah saktinya suatu upacara. Di samping sebagai penghormatan, daksina  juga sebagai lambang alam, sthana Hyang Widhi. Unsur utama yang ada dalam sebuah  daksina  adalah kelapa yang merupakan lambang  Buwana Agung. Dalam menghaturkan  daksina,  serabut kelapa itu  harus dikupas atau dibersihkan karena merupakan lambang pengikat indria. Daksina sebagai lambang Bhuwana Agung, sthana Hyang Widhi tentu harus bersih dari indria  yang mengikat. Karunia-Nya akan kita peroleh apabila kita mampu melepaskan diri dari ikatan  indria.
Tumpeng putih adalah lambang persembahan kepada Dewa Ghana. Kober atau gambar Ghana adalah simbol Dewa Ghana yang diharapkan kehadiran-Nya. Dalam kehidupan beragama masyarakat Bali,  kober  Dewa Ghana sudah tidak asing lagi. Hal itu dapat dijumpai dalam ritual penangluk mrana’penolak hama,  baik yang dilaksanakan di sawah, di pekarangan, maupun di jalan. Pada bulan keenam sampai bulan kesembilan dalam sistem penanggalan Bali, kober Dewa Ghana pada umumnya dipasang di jalan di depan rumah. Adapun maknanya adalah sebagai penyelamat. Bulan keenam sampai kesembilan dalam kehidupan masyarakat Bali dikenal sebagai sasih gering ‘bulan sakit’, artinya pada bulan-bulan itu penyakit merajalela. Dalam babad Dukuh Jumpung disebutkan bahwa Ratu Gde Mecaling  yang ber-sthana di Dalem Nusa pada bulan-bulan itu nudukin upetin jagat ’memungut pajak dunia’, baik dengan penyakit maupun kematian. Untuk menghindari hal tersebut, hanya Dewa Ghana-lah yang mampu menghalanginya karena sesungguhnya beliau adalah Dewa Penyelamat yang tertinggi. Kober Dewa Ghana  yang digunakan dalam ritual Rsi Ghana  berbeda-beda menurut keperluan. Misalnya, untuk menolak racun dan caru roghasangharbumi, Dewa Ghana  digambar dalam secarik kain dengan membawa senjata Panca Dewata, yaitu nagapasha, gadha,gentha, trisula, dan cakra.
Mandra (2003:75--78) yang mengutip dari berbagai sumber menggambarkan bahwa kober Ghana  ada beberapa versi, yaitu (1) versi Lontar Pecaru Rsi Ghana  dan Japa Kala, Dewa Ghana digambarkan dengan senjata Bajra  di tangan kanan, dan senjata Gada di tangan kiri, (2) versi Kanwil Depag Provinsi Bali, Dewa Ghana digambarkan dengan senjata Gada  di tangan kanan, dan senjata Cakra  di tangan kiri, dan (3) versi lain, Dewa Ghana digambarkan dengan senjata bajra di tangan kiri, dan cupu di tangan kanan. Menurut penulis, semua versi tersebut adalah sama. Yang terpenting adalah kehadiran-Nya. Senjata apa pun yang dibawa-Nya tidaklah menjadi masalah, tidak membawa senjata pun tidak masalah karena sesungguhnya beliau adalah puncak dari kemahakuasaan-Nya. Dewa Ghana adalah gabungan seluruh kekuatan para dewa. Dalam hal ini, ada perbedaan antara filsafat umum dengan filsafat khusus. Dalam filsafat umum dijelaskan bahwa Dewa Ghana adalah anak dari Siwa dan Parwati. Dalam filsafat khusus, Ghana ada akibat bergabungnya Purusada (hawa)  dan Ulunswi (nafsu).
Bentuk persembahan yang berupa tumpeng menggambarkan bahwa Ghana adalah puncak kemahakuasaan Hyang Widhi, sama halnya dengan Kala, Kumara, dan Saraswati. Dalam ajaran Kandapatsari dijelaskan bahwa bentuk-bentuk persembahan kepada Tuhan dalam manifestasi-Nya yang berupa puncak-puncak kemahakuasaan-Nya, seperti Purasada (Siwa), Ulunswi (Uma), dan Dalem Kahyangan, hendaknya berupa tumpeng. Tumpeng adalah lambang puncak gunung yang juga melambangkan puncak kemahakuasaan-Nya.
Nasi sembilan cetakan adalah lambang Dewata Nawa Sanga. Kain putih pembungkus itik  adalah lambang hati yang bersih. Aksara Ong, Re, Si, Gha, Na, Byo, Na, Mah, adalah aksara untuk menghadirkan Dewa Ghana di tempat pelaksanaan ritual. Makna lainnya adalah untuk menghadirkan Dewa Ghana sebagai Vigneswara  agar menganugerahkan rahmat-Nya untuk menghalangi, memerangi, dan melindungi tanaman padi serta petani dari mara bahaya yang disebabkan oleh  sekala’nyata’  dan niskala ‘tidak nyata’.  Sebagai pengelukat,  kehadiran Dewa Ghana tidak hanya mengusir, tetapi juga diharapkan dapat ngelukat  areal dan penyebabnya. Artinya, berkat daya pengelukatan-Nya, areal menjadi bersih secara niskala sehingga Bhuta Kala menjadi menyingkir (Atmaja, 1999:100--101; Mandra, 2003:114).
Tampah bergambar padma astadala  (teratai delapan daun) mengandung makna sebagai sthana Tuhan Yang Maha Tunggal. Daun teratai yang lancip mengandung makna lambang api, sedangkan jumlah delapan melambangkan delapan sifat agung kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Tunggal yang dikenal dengan Asta-Iswarya sebagai berikut:
1)            Anima ialah sifat Tuhan Yang Maha Kecil,
2)            Mahima  ialah sifat Tuhan Yang Maha Besar,
3)            Lagima ialah sifat Tuhan Yang Maha Ringan,
4)            Praptima ialah sifat Tuhan yang sampai pada tujuan,
5)            Prakamya  ialah sifat Tuhan yang kehendak-Nya tercapai,
6)            Isitwa ialah sifat Tuhan Maha Raja,
7)            Wasitwa ialah sifat Tuhan yang menguasai segala-galanya, dan 
8)            Yatrakama  ialah sifat Tuhan yang tidak ada yang mampu menentang kodrat-Nya (Mandra, 2003:79-80).
Caru ayam brumbun  dan itik putih melambangkan persembahan kepada Butha Kala. Olahan itik menjadi 5 tanding sesuai warnanya, yaitu kuning, merah, putih, hitam, brumbun ‘pancawarna’,  adalah lambang persembahan kepada Tuhan yang menguasai lima penjuru mata angin, yaitu warna putih di timur adalah lambang Dewa Iswara,  warna merah di selatan lambang Dewa Brahma, warna kuning di barat lambang Dewa Mahadewa, warna hitam di utara lambang Dewa Wisnu, dan warna brumbun di tengah lambang Dewa Siwa.
Pangambean  berasal dari kata ambe ‘panggil’, mengalami proses nasalisasi dan mendapat konfiks {­pe—an}  menjadi pengambean ‘pemanggilan’. Maksudnya, pemanggilan kembali roh tanaman padi yang terkena durmenggala ‘kemalangan’. Prascita luwih adalah wujud  persembahan sebagai pembersih atau penyucian mala  atau kotoran. Kotoran yang dimaksud adalah ­sarwa rogha ‘segala macam penyakit’, sarwa wighna ‘segala halangan’, sarwa satru ‘semua musuh’, papa klesa ‘lima noda yang mengotori hidup’, dan sarwa dustha ‘orang-orang jahat’.
Sasayut durmanggala berasal dari kata sesayut dan durmenggala. Sesayut artinya ‘sebagi penahan’, dan durmenggala  artinya ‘alamat buruk’ atau’malang’ (Mardiwarsito, 1978:65,303). Jadi, sesayut durmenggala  adalah wujud persembahan yang bertujuan menghindari keadaan yang tidak wajar, alamat buruk atau kemalangan.  Pamiakkala  adalah lambang penyucian yang bersifat lahiriah dan merupakan kebalikan dari prascita  sebagai lambang penyucian rohaniah. Upacara pemiakkala/byakala bertujuan untuk meningkatkan sifat-sifat Bhuta Kala dari yang kasar menjadi lebih halus untuk membantu manusia dalam menangani berbagai pekerjaan dalam rangka beryadnya (Wiana, 2001:167). Pamangguh pemali  juga termasuk lambang persembahan kepada Bhuta Kala, tetapi bersifat lebih khusus kepada Bhuta Kala  penguasa tata ruang atau tempat. Dalam kepercayaan umat Hindu, kalau ada benda yang ditempatkan pada ruang atau tempat tertentu yang tidak pada tempatnya, akan menyebabkan sakit yang dikenal dengan pemalinan,  yaitu sakit yang disebabkan oleh Sang Bhuta Pemali.
            Berdasarkan uraian di depan, ritual Rsi Ghana  dengan wujud inti ritualnya berupa tumpeng dengan lauk guling itik yang dibungkus kain putih  dan  kober Bhatara Ghana mengandung makna bahwa petani memohon kesucian dan keselamatan sawah  dan padinya yang terkena mara bahaya kepada Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Sang Hyang Ghanapati karena Beliaulah sesungguhnya  sang pengelukat  dan penyelamat yang tertinggi.


4. Simpulan
            Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ritual Rsi Ghana itu adalah sebuah ritual dalam masyarakat Hindu di Bali dengan menghadirkan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Ghana. Dalam hal ini Dewa Ghana dimohon kehadirannya di lahan pertanian atau sawah agar Beliau berkenan menyucikan kembali tempat yang dianggap kotor karena, misalnya, ada orang meninggal di sawah dan pohon tumbang. Dalam pelaksanaannya, ritual Rsi Ghana sama halnya dengan ritual-ritual lainnya dalam masyarakat Bali yang menggunakan sarana atau wujud persembahan. Bahasa pengantar dalam ritual tersebut adalah mantra yang khusus ditujukan kepada Dewa Ghana. Masing-masing wujud persembahan dalam ritual Rsi Ghana memiliki makna sendiri-sendiri. Wujud  inti ritualnya adalah berupa tumpeng dengan lauk guling itik yang dibungkus kain putih. Maknanya adalah sebagai lambang persembahan kepada Dewa Ghana yang sebenarnya adalah puncak dari kemahakuasaan Tuhan untuk memohon kesucian dan keselamatan lahan pertanian.


Daftar Pustaka

Atmaja, I Nengah Bawa. 1999. Ganesa sebagai Avighnevara, Vinayaka, dan Pengelukat. Surabaya: Paramita.

Halliday, M.A.K. 1978. Language and Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning. London: Edward Arnold.

Halliday dan Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial (terjemahan Asruddin Borori Tau). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Hawkes, Terrence. 1978. Strukturlism and Semiotics. California: Stanford University Press.

Mandra, I Wayan. 2003. “Aksara Bali dalam Upacara Caru Rsi Gana dalam Persektif Linguistik Kebudayaan” (Tesis). Denpasar: Program Studi Magister Linguistik, Program Pascasarjana, Universitas Udayana.

Mardiwarsito. 1978. Kamus Jawa Kuna (Kawi)—Indonesia. Flores: Nusa Indah.

Pandit, Narendra Dev. 1953. Weda Parikrama. (Diterjemahkan oleh I Gusti Made Tamba). Denpasar: Bhuwana Saraswati Publications.

Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Bali. 1989.  “Sri Purana. Denpasar: Unit Pelaksana Daerah Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali.

Riana, I Ketut. 2003. “Linguistik Budaya: Kedudukan dan Ranah Pengkajiannya”. Dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Linguistik Budaya  pada Fakultas Sastra Unud. Denpasar: Universitas Udayana.

Saussure, Ferdinand de. 1957. Course in General Linguistics. New York: Mc Graw-Hill Paperbacks.

Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik: Antropologi Lingusitik, Linguistik Antropologi. Medan: Poda.

Suamba, I.B.P. 2004. Om Pranawa Mantra. Denpasar: Dharmopadesa Pusat.

Suandra, I Made. 1978. Tuntunan Gunaning Masasawahan. Tabanan: Parisada Hindu Darma Kabupaten Tabanan.

Sudaryanto. 1982. Metode Linguistik, Kedudukan, Aneka Jenisnya, dan Faktor Penentu Wujudnya. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada.

Titib, I Made. 1997. Tri Sandya,Sembahyang, dan Berdoa. Surabaya: Paramita.

-----------------.  2001. Teologi & Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Litbang PHDI Pusat dan Paramita.

Ullman, Stephen. 1977. Semantics: an Introduction to the Science of Meaning. Basil Blackwell, Oxford. (Adaptasi oleh Sumarsono. 1985. Pengantar Semantik.) Singaraja: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Udayana.

Wiana, I Ketut. 2000. Arti dan Fungsi Sarana Persembahyangan. Surabaya: Paramita.

Wiana, I Ketut. 2001. Makna Upacara Yadnya dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

Wikarman, I Nyoman Singgih. 1998. Caru Palemahan dan Sasih. Surabaya: Paramita.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar