RITUAL RSI GHANA DALAM MASYARAKAT BALI :
SEBUAH ANALISIS
SEMIOTIK SOSIAL
I Gde Wayan Soken
Bandana
1.
Pendahuluan
Bahasa Bali dalam
kedudukannya sebagai bahasa daerah memiliki fungsi sebagai (1) lambang
identitas daerah Bali, (2) lambang kebanggaan daerah Bali, dan (3) alat
komunikasi dalam keluarga dan masyarakat Bali. Di samping fungsi-fungsi umum tersebut, bahasa Bali
juga memiliki fungsi sebagai bahasa pengantar di dalam kegiatan ritual
masyarakat Bali . Sejalan dengan itu,
Malinowski (dalam Sibarani, 2004:44) membedakan fungsi bahasa menjadi dua,
yaitu (1) fungsi pragmatik, yaitu
fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, dan (2) fungsi ritual, yaitu fungsi
bahasa yang bersangkutan dengan kegiatan upacara atau keagamaan dalam suatu
kebudayaan. Bahasa-bahasa dalam fungsinya yang berhubungan dengan ritual
masyarakat Bali dikenal dengan mantra, japa, dan saa.
Bahasa Bali dalam fungsi
ritual diartikan sebagai sebuah wacana berbahasa Bali
di dalam kegiatan ritual, yang dalam hal ini adalah ritual Rsi Ghana. Ritual Rsi Ghana
umumnya dikenal sebagai Caru Rsi Ghana .
Menurut Mardiwarsito (1978:49), kata caru
diartikan sebagai ‘kurban’. Kata caru identik dengan upacara bhuta
yadnya yang berarti kurban suci yang ditujukan kepada para bhuta atau bhuta
kala. Rsi adalah orang atas usahanya melakukan tapa,
yoga, dan semadi, memiliki kesucian yang dapat
menghubungkan diri dengan Sang Hyang
Widhi sehingga dapat melihat hal-hal yang sudah lampau, masa sekarang, dan
masa yang akan datang (Wiana, 2001:16). Ghana
adalah simbol dewa bencana (vighnesvara),
mahatahu (vinayaka), dan pengelukat
(pengeruat) (Atmaja, 1999: 35-90). Caru
Rsi Ghana adalah usaha manusia untuk
membuat hubungan yang harmonis antara keadaan diri, lingkungan, dan Tuhan, yang
diwujudkan dalam bentuk atau wujud sesaji dengan menghadirkan manifestasi Tuhan
sebagai Dewa Ghana .
Rsi
Ghana berarti
golongan atau kelompok resi (Mardiwarsito, 1978:279). Rsi Ghana terdiri atas kata rsi
dan ghana . Rsi berarti ‘pendeta; dewa’. Ghana
berarti ‘makhluk setengah dewa; angkasa;
langit’ (Suparlan, 1988:38,79). Yang dimaksud dengan kelompok resi
adalah kekuatan Dewata Nawa Sanga
yang bergabung menjadi satu dalam tubuh Dewa Ghana . Makhluk setengah dewa
dimaksudkan sebagai wujud Dewa Ghana
yang berupa manusia berkepala gajah yang datang dari langit dengan kekuatan
para dewa. Jadi, Rsi Gana berarti
Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Ghana yang turun ke dunia sebagai
penghalau rintangan atau penyelamat. Ritual Rsi
Ghana dimaksudkan sebagai sebuah ritual dengan menghadirkan Dewa Ghana sebagai
penyelamat atau pelindung. Dalam hubungannya dengan tulisan ini, Dewa Ghana
dihadirkan di lahan pertanian atau sawah untuk
menjauhkan rintangan dan memulihkan kesuciannya karena sebelumnya dianggap
kotor atau tercemar oleh adanya suatu kejadian, misalnya orang meninggal, pohon
tumbang, dan tanaman disambar petir. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah
wacana ritual Rsi Ghana yang
dilaksanakan di sawah.
Carik punika kamanggehang genah sane suci. Nika mawinan
I krama subak nenten lali ngamargiang sukreta agama sane kasungkemin, anggen
nyejerang kasucian ring carik, maduluran antuk upacara. Upacarane punika
kalaksanayang ritatka makarya ring carik, wentene kabaya-baya ring carik,
makadi wong mati, sander kilap, miwah sane lianan sane ngranayang leteh ring
carike.
Yaning wenten carik sinalah tunggil kehanan upami: wong
padem salah pati, miwah padem pangkan sewosan, kabawos carik punika kebaya-baya, sane ngawinang letuh ring carik.
Cutet ipun, sehanan barang-barang sane kaucap leteh manut agama, tan kadadosang
genahang ring carik. Yaning wenten cihna kaletuhan kadi punika, mabwat pisan
kawentenang pangupahayu, inggih punika Upacara Rsi Ghana , sane kalaksanayang olih sang
sulinggih (TGMSS:35).
Terjemahan
bebas:
Sawah itu diyakini sebagai tempat yang
suci. Itulah sebabnya warga subak tidak lupa menjalankan kewajiban agama yang
dijunjung untuk menjaga kesucian di sawah dengan menjalankan ritual. Ritual
tersebut dilaksanakan setiap mengadakan kegiatan atau bekerja di sawah. Adanya
mara bahaya di sawah, seperti orang yang
meninggal disambar petir dan pohon tumbang
menyebabkan keadaan di sawah menjadi kotor.
Jika salah satu keadaan tersebut terjadi, misalnya ada
orang meninggal dengan tidak wajar, atau meninggal dengan sebab lain, sawah itu
dikatakan terkena mara bahaya. Dengan kata lain, segala benda yang
disebut kotor menurut agama, tidak boleh ditaruh di sawah. Kalau ada
tanda-tanda kotor atau tidak baik seperti itu, seharusnya dilaksanakan ritual
untuk memulihkan kesuciannya, yang disebut dengan Rsi Ghana yang dilaksanakan
oleh seorang pendeta.
Umumnya, ritual Rsi Ghana disebut caru. Namun, kalau diteliti lebih lanjut penyebutan
kata caru tidak tepat. Caru
adalah ritual yang ditujukan untuk nyomia
Bhuta Kala’menempatkan Bhuta Kala pada tempat-Nya’. Dalam ritual Rsi Ghana persembahan dan permohonan ditujukan kepada
Dewa Ghana sebagai Dewa Wighnaghna ‘halangan’. Oleh karena itu, ritual Rsi Ghana itu lebih tepat kalau disebut ritual penulak baya ‘penolak mara bahaya’, agar
kita terhindar dari berbagai halangan dalam hidup ini (Wiana, 2001:198--199).
Dalam
pelaksanaannya, Ritual Rsi Ghana itu memiliki tingkatan-tingkatan seperti
halnya ritual yang lain, yaitu nistha
‘sederhana’, madia ‘menengah’, dan utama’besar/mewah’. Tergolong nistha ‘sederhana’, kalau ritual itu
menggunakan caru panca sato ‘caru lima ekor ayam’ atau eka sato ‘satu ekor hewan’ ditambah itik
putih. Tergolong Madia ‘menengah’, kalau menggunakan caru panca sanak ‘lima ekor binatang (angsa,kambing, babi, anjing,
sapi)’, ditambah anjing bangbungkem‘merah kecoklatan’. Tergolong utama ‘besar’, kalau menggunakan caru panca kelud (caru yang lebih besar dari panca
sanak) (Wiana, 2001:201; Wikarman,1998:17). Ritual Rsi Ghana yang tergolong
sederhana bisa juga menggunakan caru
ayam berumbun ditambah satu ekor itik
putih. Hal itu paling mudah dilaksanakan
dan paling banyak dipilih oleh masyarakat karena biayanya paling murah. Yang
penting adalah hakikat atau tujuan ritual itu sendiri. Pada beberapa daerah di
Bali, ritual tersebut tidak harus dilakukan oleh seorang pendeta, tetapi cukup
oleh seorang Pemangku Pura Dalem ‘…’ yang oleh masyarakat setempat diyakini sebagai
seseorang yang boleh atau berhak memimpin ritual apa saja.
Penelitian yang
berhubungan dengan masalah ritual Rsi
Ghana memang sudah pernah dilakukan oleh penulis atau peneliti terdahulu,
tetapi sifatnya sangat umum. Oleh karena itu, tulisan yang sifatnya khusus
perlu dilakukan.
Berdasarkan uraian di
atas, ada dua masalah yang dikaji dalam tulisan ini, yaitu (1) bagaimanakah
makna mantra ritual Rsi Ghana
tersebut? (2) bagaimanakah makna wujud persembahan dalam ritual Rsi Ghana tersebut? Berdasarkan masalah
itu pula, dapat dirumuskan tujuan khusus dari tulisan ini, yaitu untuk (1)
mendeskripsikan dan mendalami makna mantra dalam ritual Rsi Ghana dan (2) mendeskripsikan makna wujud-wujud persembahan dalam ritual Rsi Ghana.
Adapun teori yang
digunakan dalam tulisan ini adalah teori semiotik sosial yang mengacu kepada
pendapat para ahli seperti Saussure, (1957:16);
Hawkes, (1978:132); Halliday & Roqaiya Hasan, (1992:5); Halliday
(1978:25). Menurut Riana (2003:11), kata secara semiotik sosial memiliki makna
tersurat atau tekstual dan tersirat atau kontekstual. Untuk memperoleh data
yang disajikan dalam tulisan ini digunakan metode studi pustaka dan wawancara.
Dengan studi pustaka penulis mencari buku-buku, naskah, atau pun lontar yang
berhubungan dengan masalah yang dikaji.
Wawancara dilakukan dengan informan ahli untuk memperoleh data yang
akurat dan dapat dipercaya, serta diakui oleh masyarakat umum. Data yang
didapat kemudian dianalisis melalui beberapa tahap, kemudian disajikan dengan
menggunakan metode formal dan informal (Sudaryanto, 1982:16).
2.
Makna Mantra Ritual Rsi Ghana
Sebelum menguraikan
makna, sebaiknya perlu diketahui
pengertian tentang mantra serta perbandingannya dengan stuti, stava, puja (pujian) atau stotra’kakawin pujian’, sutra’kitab pedoman’, dan sloka. Mantra adalah Weda,
sehingga Kitab Catur Weda disebut Kitab Mantra (Wiana, 2000:124); (Pudja,
1978:13). Mantra digolongkan menjadi empat bagian dengan nama Rig, Yajur, Sama, dan Atharwa (Pandit, 1953:10).
Mantra pada umumnya
adalah untuk menyebut syair-syair yang merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa,
yang disebut Sruti. Dalam hal ini,
yang termasuk dalam pengertian mantra adalah seluruh syair dari kitab-kitab Samhita (Rgveda,
Yajurveda, Samaveda, Atharvaveda), Brahmana (Sataphata dan Gopatha), Aranyaka (Taittiriya dan Brhadranyaka), dan
seluruh Upanisad (Chandogya, Isa dan Kena). Di samping pengertian mantra
seperti itu, syair-syair untuk pemujaan yang diambil dari sebagian kitab-kitab Itihasa ‘dongeng suci,kepahlawanan’, Purana ‘cerita-cerita kuno’,
Agama dan Tantra ‘ilmu gaib’,
termasuk pula mantram pandita Hindu di Bali, juga disebut mantra. Mantram-mantram itu digolongkan ke
dalam kelompok stuti, stava, stotra, dan
puja. Yang dimaksud dengan sutra adalah kalimat-kalimat singkat yang mengandung makna
seperti dalam Yogasutra, sedangkan sloka
adalah syair-syair yang dipakai dalam kitab-kitab Itihasa dan Purana, termasuk seluruh kitab-kitab
sastra agama (Titib, 1997: 29--30).
Berdasarkan uraian di
atas dapat diketahui bahwa yang termasuk mantra adalah syair-syair dalam kitab
suci Weda. Namun, berbeda halnya
dalam tulisan ini, yang dimaksud mantra sebenarnya adalah sloka dalam pengertian sebenarnya. Berikut ini adalah mantra ritual Rsi Ghana .
“Ong
Ang Rsi Gna byonamah,
Ong
hana Sira Sang Hyang Rsi Ghana,
rupania
kaya jaladi sangka,
matan
ira dumilah,
Panca
Maha Bhuta ring tengah,
hangilang
aken satru,
kala
Traya,
tuju
teluh trangjana.
kalukat
den Ira Sang Hyang Rsi Ghana,
Ong
Sa Ba Ta A I Na Ma Si Wa Ya.
Ong
etat mantram prawaksyamam,
madya
Ong Kara sang stitah,
Ang Kara
purwa sang stopi,
aghneya
sya dre narakah.
Sikara
daksina jnyanyah,
nairityang
ghwa sang stitah,
tawat
nakara pascima,
Byoh
cikara sang stitah.
Nakarottara wi jneyah,
Makara
saniya rewaca,
tatah
mantram neaset widwan,
Ghanarsi
namo raksane.
dwija
geni nayanah bayu,
guno
wiprendriyo bhujah,
pramondo
rupa,
nesi
candra resi catu.
Ong
indah ta Sang Hyang Rsi Ghana,
tulung
manusan Ira,
katibanin
mrana ageng,
haweha
urip manusanta,
mwang
dirghayusa,
Ong
sidhirastu ya namah swaha”(Sri Purana: 46; TGMSS:36).
Terjemahan
bebas:
Ya, Tuhan, yang dipuja sebagai Sang Hyang
Rsi Ghana ,
Ya, Tuhan,
sebagai Sang Hyang Rsi Ghana ,
Rupa-Mu seperti
lautan yang luas,
Mata-Mu bagai api
yang menyala,
Panca Maha Butha
berada di tengah,
menghilangkan
musuh,
roh jahat,
tuju,
teluh ’ilmu sihir’
trangjana ’ilmu sihir’
diruwat oleh Sang
Hyang Rsi Ghana ,
terpujilah Tuhan
sebagai Dasa Dewata.
Ya, Tuhan, yang disimbolkan dengan
aksara Ongkara yang terletak di
tengah,
Angkara di timur,
Re di tenggara,
Sikara di selatan,
di barat daya
adalah Gha,
Nakara di
barat,
Byo di
barat laut,
Na di utara,
Ma di timur laut.
Doa yang
dipanjatkan itu agar dimaklumi oleh Beliau Rsi
Ghana ,
sebagai pendeta
yang menjaga mata api,
yang berkhasiat
suci demi kepuasan yang nikmat,
dewa juga tiada
lain bagaikan percikan bulan seperti saat turunnya Dewi Sri.
Ya, Tuhan, sebagai Sang Hyang Rsi Ghana ,
tolonglah hamba-Mu
ini,
yang sedang
terserang mara bahaya,
berilah kehidupan
kepada hamba-Mu ini,
dan juga umur
panjang,
Ya, Tuhan,
kabulkanlah permohonan hamba.
Dalam mantra di atas
tercermin bahwa Dewa Ghana atau
Ghanesa atau yang di Bali lebih dikenal
sebagai Sang Hyang Ghanapati memiliki
semua kekuatan para dewa yang lainnya. Hal itu dapat kita lihat dalam kober Ghana yang sudah tidak asing
lagi bagi umat Hindu di Bali. Dalam kober (gambar dalam kain/kertas) yang digunakan pada
upacara caru Roghasangharabhumi dijumpai
bahwa Dewa Ghana itu menyandang semua senjata Dewa yang lainnya, seperti gada milik Dewa Brahma, bajra milik Dewa Iswara, cakra milik Dewa Wisnu, trisula milik Dewa Sambu, dan nagapasa
milik Dewa Mahadewa. Ganesa sebagai vighnevara
atau vighnaghna tidak saja bermakna
sebagai penghalang atau pelindung manusia dari serangan musuh dalam bentuk
manusia, tetapi juga musuh dalam arti luas, termasuk di dalamnya hama dan penyakit
tanaman. Pemaknaan ini tidak bisa lepas dari adanya kenyataan bahwa hama dan penyakit tanaman
adalah musuh yang amat merugikan bagi masyarakat petani. Serangan hama dan penyakit tanaman
bisa menyebabkan gagal panen yang pada akhirnya dapat menimbulkan bahaya
kelaparan, bahkan kematian. Dengan demikian, pengendalian hama dan penyakit tanaman amat penting karena
sangat menentukan keberhasilan para petani bercocok tanam (Untung 1993, dalam
Atmaja, 1999:60).
Mantra
di atas juga menguraikan bahwa ritual Rsi
Ghana terdiri atas beberapa aksara suci yang tempatnya sudah ditentukan,
yaitu aksara Ongkara yang terletak di
tengah, Angkara di timur, Re di tenggara, Sikara di selatan, di barat daya adalah Gha, Nakara di barat, Byo
di barat laut, Na di utara, dan Ma di timur laut. Mantra itu hanya ditujukan kepada Dewa Ghana . Dengan
demikian, si pengucap mantra dan keluarganya berharap bisa terhindarkan dari
semua hama ,
penyakit tanaman, dan bahaya yang lainnya sehingga mereka selamat dan berumur
panjang. Selanjutnya, simbol suci dalam Caru
Rsi Ghana tersebut dapat dibagankan sebagai berikut.
Bagan 1.
Aksara Suci dalam Caru Rsi Ghana
dan Dewata Nawa Sanga
BL U TL
Ebêo n m
(Byo) (Na)
(Ma)
Sangkara Wisnu Sambu
B TN T
x þ ö
(Na) (ONG) (Ang)
Mahadewa
Siwa Iswara
BD S TG
F ]I Ï
(Gha) (Si) (Re)
Rudra Brahma Mahesora
U
Keterangan:
= arah mata angin
S
= hal yang dipentingkan
TN= Tengah, T= Timur, TG=
Tenggara, S= Selatan, BD= Barat Daya, B=
Barat,
BL= Barat Laut, U= Utara, TL=
Timur Laut.
3. Makna Wujud Persembahan Ritual
Rsi Ghana
Makna yang dimaksud
dalam hal ini adalah makna yang tersurat dan makna yang tersirat. Makna
tersurat adalah makna yang ada atau
dapat dilihat pada kamus, sedangkan makna tersirat/kontekstual adalah makna
yang tidak terdapat dalam kamus, tetapi
dapat ditelusuri dengan melihat konteksnya (Halliday, 1985 dalam Riana,
2003:10).
Sementara itu, Ullman
(1985:90--91) menyebut teori kontekstual sebagai teori operasional yang
berkaitan dengan makna dalam tutur, yang berbeda dengan teori referensial yang
berkaitan dengan makna dalam bahasa. Makna kontekstual adalah makna sebuah kata
yang berada di dalam satu konteks. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan
situasinya, yakni tempat, waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa itu. Makna
kontekstual atau makna situasional sering juga disebut makna gramatikal (Chaer,
1990:64 ; 1994:290).
Makna kontekstual yang
dimaksud dalam tulisan ini adalah (1) makna yang ada di balik wujud-wujud
persembahan dalam ritual Rsi Ghana dan
(2) makna yang berhubungan dengan konteks ritual Rsi Ghana. Sebelum menguraikan makna yang terkandung di dalam
wujud-wujud persembahan ritual Rsi Ghana
yang tergolong sederhana itu, perhatikan wacana berikut ini.
Munggwing banten sane katur: 1) ring sanggah tutwan
katur banten Surya : suci, peras
daksina, lan banten Ghana: tumpeng putih maulam daging itik maguling mabungkus
antuk kain putih, kober Bhatara Ghana katancebang ring puncuk tumpeng, sega
pangkon 9 tanding mawadah tamas ageng malawa don nagasari, genahne manut
pangideran sega soang-soang, marajah: Madya =Ong, Purwa=Ang, Gneya=Re,
Daksina=Si, Neriti=Gha, Pascima=Na, Wayabya=Byo, Uttara=Na, lan Ersania=Mah;
ulamne mangge bebek, sega soang-soang tancebin antuk sekar tunjung. Sami
magenah ring tempeh merajah padma matulis dasaksara, 2) caru ayam berumbun
maolah dados 5 tanding, malayang-layang,
bebek putih maolah dados 5 tanding, pepusuhne dados urab putih, atine dados
urab barak, ungsilane dados urab kuning, nyaline dados urab selem, awaknia dados
urab berumbun, genahnia manut pangider-ider. Sesayut pangambean, prascita
luwih, sasayut durmanggala, pamiakala, dulurin pamangguh pamali (TGMSS:35).
Terjemahan
bebas:
Adapun sajen yang
dihaturkan adalah 1) di sanggah tutwan dihaturkan sajen Surya : suci, peras daksina,
dan sajen Ghana: tumpeng putih dengan lauk guling itik yang dibungkus kain
putih, kober Bhatara Ghana ditancapkan di puncak tumpeng, nasi cetakan 9 tanding yang ditaruh di atas tamas besar beralaskan daun nagasari, tempatnya menyesuaikan, bertuliskan di tengah=Ong, Timur=Ang, Tenggara=Re, Selatan=Si,
Barat Daya=Gha, Barat=Na, Barat Laut=Byo, Utara=Na, dan Timur
Laut=Mah; dengan lauk itik, masing-masing nasi ditancapi
bunga teratai. Semua ditempatkan di tampah yang bergambar padma dan bertuliskan
dasaksara, 2) caru ayam berumbun
diolah menjadi 5 tanding, lengkap dengan kulitnya, bebek putih diolah menjadi 5
tanding, jantungnya menjadi urap putih, hatinya menjadi urap merah, limpanya menjadi urab kuning, empedunya menjadi urab hitam,
badannya menjadi urab berumbun ‘pancawarna’ , tempatnya menurut arah mata angin. Sesayut pangambean, prascita luwih, sasayut durmanggala, pamiakkala, ditambahkan
pamangguh pemali.
Berdasarkan wacana di
atas, wujud ritual Rsi Gana yang
tergolong sederhana adalah sebagai berikut:
suci, peras daksina, tumpeng putih, dengan lauk guling itik yang dibungkus kain
putih, kober Bhatara Ghana, nasi
cetakan sembilan tanding tempatnya
menyesuaikan, bertuliskan: di Tengah=Ong,
Timur=Ang, Tenggara=Re, Selatan=Si,
Barat Daya=Gha, Barat=Na, Barat Laut=Byo, Utara=Na, dan Timur
Laut=Mah; dengan lauk itik, masing-masing nasi ditancapi
bunga teratai. Tampah bergambar padma dan bertuliskan dasaksara, caru ayam berumbun diolah menjadi
5 tanding, bebek putih diolah menjadi
5 tanding, jantungnya menjadi urap putih,
hatinya menjadi urap merah, ungsilane
‘limpanya’ menjadi urab kuning,
empedunya menjadi urap hitam,
badannya menjadi urap lima warna, tempatnya sesuai arah mata angin. Sesayut pangambean, prascita luwih, sesayut
durmanggala, pamiakkala, dan pamangguh
pemali.
Peras
dalam lontar Yajnya
Prakerti disebutkan sebagai lambang Hyang
Triguna-Sakti. Artinya, sajen peras itu melambangkan permohonan kepada Tuhan agar
si pemohon mendapat kekuatan suci Tuhan untuk mengendalikan Tri Guna yang menguasainya. Kata peras
dapat diartikan ‘sah’ atau ‘resmi’. Apabila kumpulan sesajen tidak dilengkapi
dengan peras, upacara itu dikatakan tan perasida ‘tidak sah’, tidak berhasil’ (Titib, 2001:151-152). Banten suci mengandung makna sebagai
lambang kesucian Tuhan yang akan memberikan kesucian lahir bathin.
Daksina
adalah lambang sthana
Hyang Widhi. Daksina
juga merupakan lambang persembahan
kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang
Surya, yang dalam kehidupan masyarakat Bali
juga dikenal dengan Sanghyang Tigawelas atau Sanghyang Triyodasasaksi. Dalam
hal ini, Beliau adalah saksi atas segala hal yang dilakukan oleh umat-Nya.
Menurut Wiana (2001:22-26), upacara tidak akan sukses apabila tidak menggunakan
daksina karena daksina adalah saktinya
suatu upacara. Di samping sebagai
penghormatan, daksina juga sebagai lambang alam, sthana Hyang
Widhi. Unsur utama yang ada dalam sebuah daksina adalah kelapa yang merupakan lambang Buwana Agung. Dalam menghaturkan daksina, serabut kelapa itu harus dikupas atau dibersihkan karena
merupakan lambang pengikat indria. Daksina sebagai lambang Bhuwana
Agung, sthana Hyang Widhi tentu harus bersih dari indria yang mengikat.
Karunia-Nya akan kita peroleh apabila kita mampu melepaskan diri dari ikatan indria.
Tumpeng putih
adalah lambang persembahan kepada Dewa Ghana . Kober atau gambar Ghana
adalah simbol Dewa Ghana
yang diharapkan kehadiran-Nya. Dalam kehidupan beragama masyarakat Bali, kober Dewa Ghana sudah
tidak asing lagi. Hal itu dapat dijumpai dalam ritual penangluk mrana’penolak hama ’, baik yang dilaksanakan di sawah, di
pekarangan, maupun di jalan. Pada bulan keenam sampai bulan kesembilan dalam
sistem penanggalan Bali, kober Dewa Ghana pada
umumnya dipasang di jalan di depan rumah. Adapun maknanya adalah sebagai
penyelamat. Bulan keenam sampai kesembilan dalam kehidupan masyarakat Bali dikenal sebagai sasih
gering ‘bulan sakit’, artinya pada bulan-bulan itu penyakit merajalela.
Dalam babad Dukuh Jumpung disebutkan
bahwa Ratu Gde Mecaling yang ber-sthana di Dalem Nusa
pada bulan-bulan itu nudukin upetin jagat
’memungut pajak dunia’, baik dengan penyakit maupun kematian. Untuk
menghindari hal tersebut, hanya Dewa
Ghana-lah yang mampu menghalanginya karena sesungguhnya beliau adalah Dewa
Penyelamat yang tertinggi. Kober Dewa
Ghana yang digunakan dalam ritual Rsi Ghana berbeda-beda menurut keperluan. Misalnya,
untuk menolak racun dan caru
roghasangharbumi, Dewa Ghana digambar dalam secarik kain dengan membawa
senjata Panca Dewata, yaitu nagapasha, gadha,gentha, trisula, dan cakra.
Mandra (2003:75--78)
yang mengutip dari berbagai sumber menggambarkan bahwa kober Ghana ada beberapa
versi, yaitu (1) versi Lontar Pecaru Rsi
Ghana dan Japa Kala, Dewa Ghana digambarkan dengan senjata Bajra di tangan kanan, dan senjata Gada di tangan kiri, (2) versi Kanwil
Depag Provinsi Bali, Dewa Ghana digambarkan dengan senjata Gada di tangan kanan, dan
senjata Cakra di tangan kiri, dan (3) versi lain, Dewa Ghana
digambarkan dengan senjata bajra di
tangan kiri, dan cupu di tangan
kanan. Menurut penulis, semua versi tersebut adalah sama. Yang terpenting
adalah kehadiran-Nya. Senjata apa pun yang dibawa-Nya tidaklah menjadi masalah,
tidak membawa senjata pun tidak masalah karena sesungguhnya beliau adalah
puncak dari kemahakuasaan-Nya. Dewa Ghana adalah gabungan seluruh
kekuatan para dewa. Dalam hal ini, ada perbedaan antara filsafat umum dengan
filsafat khusus. Dalam filsafat umum dijelaskan bahwa Dewa Ghana adalah
anak dari Siwa dan Parwati. Dalam filsafat khusus, Ghana
ada akibat bergabungnya Purusada
(hawa) dan Ulunswi
(nafsu).
Bentuk persembahan yang
berupa tumpeng menggambarkan bahwa Ghana adalah puncak kemahakuasaan Hyang
Widhi, sama halnya dengan Kala, Kumara,
dan Saraswati. Dalam ajaran Kandapatsari dijelaskan bahwa
bentuk-bentuk persembahan kepada Tuhan dalam manifestasi-Nya yang berupa
puncak-puncak kemahakuasaan-Nya, seperti Purasada
(Siwa), Ulunswi (Uma), dan Dalem Kahyangan, hendaknya berupa tumpeng. Tumpeng adalah lambang
puncak gunung yang juga melambangkan puncak kemahakuasaan-Nya.
Nasi sembilan cetakan
adalah lambang Dewata Nawa Sanga.
Kain putih pembungkus itik adalah
lambang hati yang bersih. Aksara Ong, Re,
Si, Gha, Na, Byo, Na, Mah, adalah aksara untuk menghadirkan Dewa Ghana di tempat
pelaksanaan ritual. Makna lainnya adalah untuk menghadirkan Dewa Ghana sebagai
Vigneswara agar menganugerahkan rahmat-Nya untuk
menghalangi, memerangi, dan melindungi tanaman padi serta petani dari mara
bahaya yang disebabkan oleh sekala’nyata’ dan niskala
‘tidak nyata’. Sebagai pengelukat,
kehadiran Dewa Ghana tidak
hanya mengusir, tetapi juga diharapkan dapat ngelukat areal dan
penyebabnya. Artinya, berkat daya pengelukatan-Nya,
areal menjadi bersih secara niskala sehingga
Bhuta Kala menjadi menyingkir (Atmaja, 1999:100--101; Mandra,
2003:114).
Tampah bergambar padma astadala (teratai delapan daun) mengandung makna
sebagai sthana Tuhan Yang Maha Tunggal. Daun teratai yang lancip
mengandung makna lambang api, sedangkan jumlah delapan melambangkan delapan
sifat agung kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Tunggal yang dikenal dengan Asta-Iswarya sebagai berikut:
1)
Anima ialah sifat Tuhan Yang Maha Kecil,
2)
Mahima ialah sifat Tuhan Yang Maha Besar,
3)
Lagima ialah sifat Tuhan Yang Maha Ringan,
4)
Praptima ialah sifat Tuhan yang sampai pada
tujuan,
5)
Prakamya ialah sifat Tuhan yang kehendak-Nya tercapai,
6)
Isitwa ialah sifat Tuhan Maha Raja,
7)
Wasitwa ialah sifat Tuhan yang menguasai
segala-galanya, dan
8)
Yatrakama ialah sifat Tuhan yang tidak ada yang mampu
menentang kodrat-Nya (Mandra, 2003:79-80).
Caru
ayam brumbun dan itik
putih melambangkan persembahan kepada Butha
Kala. Olahan itik menjadi 5
tanding sesuai warnanya, yaitu kuning, merah, putih, hitam, brumbun ‘pancawarna’, adalah lambang persembahan kepada Tuhan yang
menguasai lima penjuru mata angin, yaitu warna putih di timur adalah lambang
Dewa Iswara, warna merah di selatan
lambang Dewa Brahma, warna kuning di barat lambang Dewa Mahadewa, warna hitam
di utara lambang Dewa Wisnu, dan warna brumbun
di tengah lambang Dewa Siwa.
Pangambean
berasal dari kata ambe ‘panggil’, mengalami proses nasalisasi dan mendapat konfiks {pe—an} menjadi pengambean ‘pemanggilan’. Maksudnya,
pemanggilan kembali roh tanaman padi yang terkena durmenggala ‘kemalangan’. Prascita
luwih adalah wujud persembahan
sebagai pembersih atau penyucian mala atau kotoran. Kotoran yang dimaksud adalah sarwa rogha ‘segala macam penyakit’, sarwa wighna ‘segala halangan’, sarwa satru ‘semua musuh’, papa klesa ‘lima noda yang
mengotori hidup’, dan sarwa dustha
‘orang-orang jahat’.
Sasayut
durmanggala berasal
dari kata sesayut dan durmenggala. Sesayut artinya ‘sebagi penahan’, dan durmenggala artinya ‘alamat
buruk’ atau’malang’ (Mardiwarsito, 1978:65,303). Jadi, sesayut durmenggala adalah
wujud persembahan yang bertujuan menghindari keadaan yang tidak wajar, alamat
buruk atau kemalangan. Pamiakkala adalah lambang penyucian yang bersifat
lahiriah dan merupakan kebalikan dari prascita
sebagai lambang penyucian rohaniah.
Upacara pemiakkala/byakala bertujuan
untuk meningkatkan sifat-sifat Bhuta Kala dari yang kasar menjadi lebih
halus untuk membantu manusia dalam menangani berbagai pekerjaan dalam rangka
beryadnya (Wiana, 2001:167). Pamangguh
pemali juga termasuk lambang persembahan
kepada Bhuta Kala, tetapi bersifat
lebih khusus kepada Bhuta Kala penguasa tata ruang atau tempat. Dalam
kepercayaan umat Hindu, kalau ada benda yang
ditempatkan pada ruang atau tempat tertentu yang tidak pada tempatnya, akan
menyebabkan sakit yang dikenal dengan pemalinan,
yaitu sakit yang disebabkan oleh Sang Bhuta Pemali.
Berdasarkan
uraian di depan, ritual Rsi Ghana dengan wujud inti
ritualnya berupa tumpeng dengan lauk guling itik yang dibungkus kain putih dan kober Bhatara Ghana mengandung makna bahwa
petani memohon kesucian dan keselamatan sawah
dan padinya yang terkena mara bahaya kepada Tuhan dalam manifestasi-Nya
sebagai Sang Hyang Ghanapati karena
Beliaulah sesungguhnya sang pengelukat dan penyelamat yang tertinggi.
4.
Simpulan
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ritual Rsi Ghana itu adalah sebuah ritual dalam masyarakat Hindu di Bali
dengan menghadirkan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Ghana. Dalam hal ini Dewa
Ghana dimohon kehadirannya di lahan pertanian atau sawah agar Beliau
berkenan menyucikan kembali tempat yang dianggap kotor karena, misalnya, ada
orang meninggal di sawah dan pohon tumbang. Dalam pelaksanaannya, ritual Rsi Ghana sama halnya dengan
ritual-ritual lainnya dalam masyarakat Bali
yang menggunakan sarana atau wujud persembahan. Bahasa pengantar dalam ritual
tersebut adalah mantra yang khusus ditujukan kepada Dewa Ghana .
Masing-masing wujud persembahan dalam ritual Rsi Ghana memiliki makna sendiri-sendiri. Wujud inti ritualnya adalah berupa tumpeng dengan lauk guling itik yang dibungkus kain putih. Maknanya adalah sebagai
lambang persembahan kepada Dewa Ghana yang
sebenarnya adalah puncak dari kemahakuasaan Tuhan untuk memohon kesucian dan
keselamatan lahan pertanian.
Daftar Pustaka
Atmaja, I Nengah
Bawa. 1999. Ganesa sebagai Avighnevara,
Vinayaka, dan Pengelukat. Surabaya :
Paramita.
Halliday, M.A.K.
1978. Language and Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and
Meaning. London :
Edward Arnold.
Halliday dan Ruqaiya
Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks:
Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial (terjemahan Asruddin Borori
Tau). Yogyakarta: Gajah
Mada University
Press.
Hawkes, Terrence.
1978. Strukturlism and Semiotics. California : Stanford
University Press.
Mandra, I Wayan.
2003. “Aksara Bali dalam Upacara Caru Rsi Gana dalam Persektif Linguistik
Kebudayaan” (Tesis). Denpasar: Program Studi Magister Linguistik, Program
Pascasarjana, Universitas Udayana.
Mardiwarsito. 1978. Kamus Jawa Kuna (Kawi)—Indonesia . Flores : Nusa Indah.
Pandit, Narendra Dev.
1953. Weda Parikrama. (Diterjemahkan
oleh I Gusti Made Tamba). Denpasar: Bhuwana Saraswati Publications.
Pemerintah Propinsi
Daerah Tingkat I Bali . 1989. “Sri
Purana”. Denpasar: Unit Pelaksana
Daerah Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali .
Riana, I Ketut. 2003.
“Linguistik Budaya: Kedudukan dan Ranah Pengkajiannya”. Dalam Pidato Pengukuhan
Guru Besar Tetap dalam Bidang Linguistik Budaya
pada Fakultas Sastra Unud. Denpasar: Universitas Udayana.
Saussure, Ferdinand
de. 1957. Course in General Linguistics. New York : Mc Graw-Hill
Paperbacks.
Sibarani, Robert.
2004. Antropolinguistik: Antropologi
Lingusitik, Linguistik Antropologi. Medan :
Poda.
Suamba, I.B.P. 2004.
Om Pranawa Mantra. Denpasar: Dharmopadesa
Pusat.
Suandra, I Made. 1978.
Tuntunan Gunaning Masasawahan. Tabanan:
Parisada Hindu Darma Kabupaten Tabanan.
Sudaryanto. 1982. Metode Linguistik, Kedudukan, Aneka
Jenisnya, dan Faktor Penentu Wujudnya. Yogyakarta :
Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada.
Titib, I Made. 1997. Tri Sandya,Sembahyang, dan Berdoa. Surabaya : Paramita.
-----------------. 2001. Teologi
& Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya : Litbang PHDI Pusat dan Paramita.
Ullman, Stephen.
1977. Semantics: an Introduction to the
Science of Meaning. Basil Blackwell, Oxford .
(Adaptasi oleh Sumarsono. 1985. Pengantar
Semantik.) Singaraja: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Udayana.
Wiana, I Ketut. 2000.
Arti dan Fungsi Sarana Persembahyangan.
Surabaya :
Paramita.
Wiana, I Ketut. 2001.
Makna Upacara Yadnya dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita.
Wikarman, I Nyoman
Singgih. 1998. Caru Palemahan dan Sasih.
Surabaya :
Paramita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar