BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Koentjaraningrat (1986: 203) menjelaskan bahwa bahasa adalah unsur terpenting dari tujuh unsur kebudayaan yang lain, seperti sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem relegi, dan kesenian. Unsur kebudayaan yang lain, baru akan bermakna dan dapat dipahami lewat bahasa. Dengan kata lain, hanya dengan bahasalah unsur-unsur kebudayaan itu akan bermakna.
Honigman (1959: 11—12) membedakan adanya tiga gejala kebudayaan, yaitu (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifact. Sebagai hasil karya manusia, kebudayaan memiliki tiga wujud, yaitu (1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya, (2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (Kontjaraningrat, 1986: 186—187).
Berdasarkan uraian tersebut, sěgěhan adalah wujud kebudayaan yang merupakan hasil karya manusia dalam hubungannya dengan masalah keagamaan. Sěgěhan sebagai sebuah wujud ritual dalam keagamaan umat Hindu di Bali baru akan bermakna kalau dideskripsikan dengan bahasa. Sěgěhan adalah sebuah wacana berbahasa Bali dan Kawi-Bali dalam hubungannnya dengan fungsi ritual.
Berbicara masalah fungsi bahasa, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dan (2) fungsi bahasa sebagai sarana dalam ritual keagamaan. Malinowski (dalam Sibarani, 2004: 44) menyebut fungsi bahasa itu sebagai (1) pragmatic use dan (2) magical use. Sebagai sebuah wacana, sěgěhan memiliki wujud ritual yang beragam, struktur saa (doa), dan makna yang berbeda pula, yang digunakan dalam hubungannya dengan ritual Butha Yadnya ‘kurban untuk butha kala’.
Sěgěhan sebagai sebuah wujud ritual dalam masyarakat Hindu di Bali berasal dari kata sěga ‘nasi’ , lalu mendapat sufiks –an. Sěga adalah kata dalam bahasa Jawa Kuna yang berarti ‘nasi’. Segeh berarti ‘penyambutan’, dan sěgěhan berarti ‘menyuguhkan sesuatu (pada tamu terhormat) (Zoetmulder dan S.O. Robson, 2004: 1064—1065). Dalam hal ini sěgěhan dapat diartikan sebagai sebuah suguhan kepada para bhuta kala yang sangat dihormati, karena sesungguhnya bhuta kala itu adalah Tuhan sebagai wujud-Nya yang berbeda dalam hubungannya dengan pemberian anugerah kepada pemuja-Nya.
Sěgěhan adalah sebuah wujud ritual umat Hindu Bali kepada Tuhannya yang berupa nasi dalam berbagai bentuk. Sěgěhan adalah caru dalam wujud yang lebih kecil (Arwati, 1992: 3). Sěgěhan adalah sajen yang digunakan dalam upacara bhuta yadnya; alas taledan; isi nasi, lauk-pauk, bawang, jahe, dan garam (Kamiartha, 1992: 58). Sejalan dengan itu, dalam Kamus Bali-Indonesia (1991: 622) dijelaskan bahwa sěgěhan adalah sajen kurban yang paling kecil dibuat dari nasi dengan lauk-pauk bawang, jahe, dan garam.
Berdasarkan uraian tersebut tampak beberapa masalah yang perlu dikaji dalam tulisan ini. Permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) bagaimanakah struktur mantra dan saa dalam wacana ritual sěgěhan?, 2) bagaimanakah wujud ritual sěgěhan tersebut?, 3) bagaimanakah makna kontekstual wacana ritual sěgěhan tersebut?
1.2 Tujuan
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk melestarikan, membina dan mengembangkan kebudayaan
Di samping tujuan umum, penelitian ini juga memiliki tujuan khusus. Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: 1) mendeskripsikan dan mendalami struktur mantra dan saa dalam wacana ritual sěgěhan, 2) mendeskripsikan dan mendalami wujud ritual sěgěhan, dan 3) mendeskripsikan dan mendalami makna kontekstual wacana ritual sěgěhan.
1.3 Ruang Lingkup dan Sumber Data
Ruang lingkup pembicaraan dalam tulisan yang berjudul: “Wacana Ritual Sěgěhan pada Masyarakat Hindu di Bali, adalah struktur mantra dan saa wacana ritual sěgěhan, makna struktur wacana ritual sěgěhan, dan makna kontekstual wacana ritual sěgěhan. Wacana ritual sěgěhan yang dimaksud dalam tulisan ini mencakup wacana ritual yang dilaksanakan umat Hindu sehari-hari atau yang disebut nitya karma, dan yang dilaksanakan setiap lima hari, lima belas hari sekali atau saat-saat tertentu sesuai keperluan, yang dikenal dengan naimitika karma. Wacana ritual yang dilaksanakan setiap hari disebut wacana ritual sěgěhan saiban atau wacana ritual banten jotan. Sedangkan yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu meliputi wacana ritual sěgěhan secara umum yang biasanya dipersembahkan oleh masyarakat kebanyakan dan wacana ritual sěgěhan khusus yang dipersembahkan dalam hubungannnya dengan mara bahaya yang sifatnya insidental. Wacana ritual sěgěhan yang dimaksud adalah wacana ritual: sěgěhan saiban, sěgěhan pulangan, sěgěhan putih kuning, sěgěhan sah-sah, sěgěhan cah-cahan, sěgěhan agung, sěgěhan wong-wongan, sěgěhan kěpěl gedé, sěgěhan tuutan, sěgěhan tumpěngl, dan sěgěhan tulak.
Sumber data dalam tulisan ini dibedakan menjadi dua, yaitu (1) sumber data primer, dan (2) sumber data sekunder. Sumber data primer atau data utama dalam penelitian ini adalah data yang didapat berdasarkan pengamatan langsung di lapangan. Dalam pengumpulan data dan informasi mengenai makna yang terdapat di dalam maupun di balik wacana ritual sěgěhan, dipilih sejumah praktisi sebagai informan dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Data juga diperoleh dari beberapa informan kunci. Sedangkan data sekunder atau data kedua sebagai penunjang adalah data yang diperoleh di dalam buku-buku, naskah, dan lontar yang terkait dengan masalah yang diteliti.
Sebagai data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku, naskah, dan lontar yang memuat masalah yang diteliti. Adapun buku, naskah, dan lontar yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Lontar “Jaya Kasunu”
2. Salinan lontar Pegal Mangsa
3. Buku Upacara Bhuta Yadnya
4. Buku Panca Yadnya
5. Buku Caru Palemahan dan Sasih
6. Buku ”Kandapatsari”
BAB II
MANTRA DAN SAA SĚGĚHAN
2.1 Pengertian
Mantra adalah Weda, sehingga Kitab Catur Weda disebut Kitab Mantra (Wiana, 2000: 124), (Pudja, 1978: 13) Mantra digolongkan menjadi empat bagian dengan nama Rig, Yajur, Sama, dan Atharwa (Pandit, 1953: 10). Mantra pada umumnya adalah untuk menyebut syair-syair yang merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa, yang disebut Sruti. Dalam hal ini, yang termasuk dalam pengertian mantra adalah seluruh syair dari kitab-kitab Samhita, Brahmana, dan seluruh. Di samping pengertian mantra seperti itu, syair-syair untuk pemujaan yang diambil dari sebagian kitab-kitab Itihasa, Purana, Agama dan Tantra, termasuk pula mantram pandita Hindu di Bali, juga disebut mantra (Titib, 1997: 29--30).
Mantra atau mantram menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 713--714) adalah: (1) perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib (misalnya dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya); (2) susunan kata berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain.
Menurut Suroso dkk., (1982: 14) mantra termasuk jenis puisi lama. Mantra berada satu kelompok dengan bidal, pantun, seloka, gurindam, syair, teromba, dan rubai. Pada umumnya, puisi lama memiliki ciri-ciri yang terdiri atas dua bagian, yaitu sampiran dan isi dan mementingkan kaidah bunyi atau permainan bunyi.
Mantra dalam tulisan ini adalah sarana komunikasi antara masyarakat Hindu Bali dengan Tuhannya dan bhuta kala. Sarana tersebut berupa bahasa Kawi-Bali, yaitu bahasa Kawi atau Jawa Kuno bercampur dengan bahasa Bali. Sedangkan saa sěgěhan adalah bahasa sebagai sarana komunikasi antara masyarakat Hindu dengan bhuta kala berupa bahasa Bali. Dilihat dari strukturnya, saa sebagai sebuah wacana tersusun atas kosa kata bahasa Bali.
2.2 Mantra dan Saa Sěgěhan
Ritual sěgěhan adalah sebuah ritual dalam masyarakat Hindu di Bali yang termasuk dalam ritual bhuta yadnya ’persembahan kepada bhuta kala’. Ritual Sěgěhan adalah sebuah komunikasi masyarakat Hindu Bali dengan Tuhan atau manifestasi-Nya sebagai bhuta kala dan pengikut-Nya. Ritual tersebut dilaksanakan pada sasih kenem ’bulan keenam’ dan sasih kesanga ’bulan kesembilan’ pada penanggalan Bali (Pemda Provinsi Bali, 2005: 44). Kenyataannya di masyarakat, wacana ritual sěgěhan dilaksanakan setiap hari (sěgěhan saiban), setiap lima hari sekali, atau setiap kliwon, setiap lima belas hari sekali (kajeng kliwon), purnama, tilem atau hari-hari yang dianggap perlu. Berikut adalah wacana yang dikutif dari Lontar Siwagama.
“Mojar Sri Gondhararaja, lingira: lahya kamung tanda mantri sadaya, rengwaken wacana mami, yeki pranidanangku, kateka-tekéng pratisantananta hlom, haywa wismrti, haywa kita tan sthiti bhakti ring déwa, mwang ri sang mahabrahmana, ikang sinanggah pangupadhyayan, hisnira Sang Rsi Siddhayoga, sahitya ri sang prabhu, maka wungkalang dharma satya, muwah ri sedangta amangan, haywa tan pabanten, yajnasésa ngaranya, ikang sěga pinanganta lana. Kunang wédanata, kanista ring trisiwa byantara, madya ring ékacandra, mottama ring sad sasih, sahitya abhyakala ning dunghulan. Muwah ri tekaning satahun, tawuren Hyang Kadurgadéwi, pratama ning asalin sirah, ri tilem ing cétramasa.”(Siwagama: 134)
Terjemahan bebas:
‘Raja Gondharapati berkata, katanya: “Wahai para menteri sekalian, dengarkanlah perintahku, ini merupakan hasratku, termasuk kepada seluruh keturunanmu di kemudian hari, janganlah lupa, janganlah kalian tiada berbakti kepada dewa dan kepada para brahmana, yang disebut perguruan, keturunan Bagawan Siddhayoga, tiada henti-hentinya kepada sang raja, sebagai dasar pelaksanaan ajaran agama, dan pada saat kau makan, jangan tidak membuat sesajen, yadnya sésa namanya, dari nasi yang kau makan setiap hari. Adapun aturan pelaksanaan upacara yang patut dilakukan olehmu adalah pada tingkatan sederhana dilakukan setiap Kajeng Kliwon. Upacara pada tingkat menengah dilakukan setiap bulan. Upacara tingkat utama dilakukan setiap enam bulan. Tiada henti-hentinya melakukan upacara peruwatan untuk Bhuta Kala Tiga pada wuku Dungulan. Dan pada setiap tahun wajib melakukan upacara tawur kepada Hyang Durgadéwi, pada saat pergantian tahun Saka, pada bulan mati kesembilan’ (Suarka dkk., 2005: 285—286).
2.2.1 Mantra Sěgěhan Saiban
“Sa Ba Ta A I,
Panca Maha Bhutaya namah suaha,
éndahta Kita watek tiryak,
gumatap-gumitip,
kumratap-kumritip,
muah sarwa prani,
sarwa mletik,
ingsun ki manusa anyupat papanta,
tinebusan déning mertha,
muah anebusaken dosan ingsun amati-mati,
riwekasan yan Sira manumadi,
menadi Sira manusa mautama,
Ong sah wésat namah suaha” (Sudarsana, 2001: 95—96).
Terjemahan bebas:
‘Ya Tuhan yang dilambangkan dengan aksara Sa Ba Ta A I,
yang disebut sebagai Sang Hyang Panca Maha Bhuta,
berbahagialah Engkau para binatang,
semua yang bergerak,
kumratap-kumritip
dan sěgala yang hidup,
sěgala yang tumbuh,
aku manusia yang akan meruwat-Mu,
mengubah menjadi kebaikan,
dan menebus dosaku yang telah membunuh,
suatu saat apabila Kau menjelma,
menjadilah Engkau manusia yang utama,
ya Tuhan semoga sirna’.
2.2.2 Mantra Sěgěhan Saiban di Dapur
“Singgih Ratu Bhatara Brahma,
titiyang ngaturang banten nasi,
sakasida antuk titiyang maturan,
mangda lédang I Ratu amuktisari,
riwus amukti mangda lédang ngamijilang kasidian,
titiyang sekeluarga nunas kerahayuan,
suksma aturang titiyang”.
Terjemahan bebas:
‘Hormatku Paduka Dewa Brahma,
hamba menghaturkan suguhan nasi,
sebisanya yang hamba haturkan,
sudi kiranya Engkau menikmati,
selesai menikmati sudi kiranya memberi anugerah,
hamba sekeluarga mohon keselamatan,
terima kasih’.
2.2.3 Mantra Sěgěhan Pulangan/Kěpěl Mancawarna
“Sa, Ba, Ta, A, I,
Panca Maha Bhutaya namah suaha,
ih Kita Sang Bhuta Putih,
metu Sira saking wétan,
Bhuta Abang metu saking kidul,
Bhuta Kuning metu saking kulon,
Bhuta Ireng metu saking lor,
Bhuta Brumbun metu saking madya,
mari Sira mona,
saksinin ingsun pawéh Sira tadah saji ganjaran,
maka sěga manca warna,
lelaban bawang jahé uyah areng,
pilih kabélanira soang-soang,
iki tadah sajinira,
wus anadah saji,
raksanen kang bhuwana kabéh,
manadi trepti paripurna,
riwus amuktisari,
pamantuk Sira ring déwatan Sira soang-soang,
Ang Ah mertha bhutaya namah suaha” (Sudarsana, 2001: 95).
Terjemahan bebas:
‘Ya Tuhan yang disimbolkan deng aksara Sa, Ba, Ta, A, dan I,
terpujilah Engkau sebagai Sang Hyang Panca Maha Bhuta,
wahai Engkau Sang Bhuta Putih,
keluarlah Engkau dari Timur,
Bhuta Abang keluar dari Selatan,
Bhuta Kuning keluar dari Barat,
Bhuta Ireng keluar dari Utara,
Bhuta Brumbun keluar dari tengah,
datang dan diamlah Engkau,
saksikanlah hamba memberikan Engkau suguhan,
sebagai nasi lima warna,
dengan lauk bawang jahe garam dan arang,
ambillah bagian-Mu masing-masing,
nikmatilah persembahan untuk-Mu,
selesai menikmati hidangan persembahan,
jagalah seluruh dunia ini,
agar aman tentram damai,
selesai bersantap,
kembalilah ke asal-Mu masing-masing,
Ya Tuhan yang disimbolkan dengan aksara Ang Ah
anugerahkanlah berkat-Mu melalui wujud para bhuta’.
2.2.4 Saa Sěgěhan Pulangan
“Singgih Ratu Sang Hyang Panca Maha Bhuta,
Ratu Ngurah, Ratu Wayan, Ratu Madé, Ratu Nyoman, Ratu Ketut,
titiyang ngaturang sěgěhan pulangan,
durusang amuktisari sareng sami,
wéhin taler Sang Catur Sanak,
Anggapati, Mrajapati, Banaspati, Banaspatiraja,
risampun amuktisari,
mangda lédang ngamijilang kesidian,
titiyang nunas keselametan kerahayuan sekeluarga,
antuk kekirangan atur miwah aturanipun,
titiyang nunas geng sinampura”.
Terjemahan bebas:
‘Hormatku Paduka Sang Hyang Panca Maha Bhuta,
Ratu Ngurah, Ratu Wayan, Ratu Madé, Ratu Nyoman, Ratu Ketut,
hamba haturkan sěgěhan pulangan,
silakan nikmati bersama-sama,
berikanlah juga kepada empat bersaudara,
Anggapati, Mrajapati, Banaspati, Banaspatiraja,
setelah menikmati,
sudi kiranya menganugerahkan kesaktian,
hamba sekeluarga mohon keselamatan,
atas sěgala kekurangannya,
hamba mohon maaf’.
2.2.5 Mantra Sěgěhan Kěpěl Putih Kuning
“Sa, Ba, Ta, A, I,
sarwa bhutaya namah swaha,
ih Kita Sang Butha Narésswari,
metu Kita saking sunia,
angadeg ring madyaning bumi,
iki saksinin ingsun pawéh Sira tadah,
maka saji sěga putih kuning,
lalaban bawang jahé,
uyah areng,
iki tadah sajinira,
wus anadah saji,
angawé suka subagia Sira maring bhumi,
muah ring sanak keluarganku,
ngeraris Sira amuktisari,
wus amuktisari,
sumurup Sira ring Dangkahyangan Sira,
Ang Ah mertha bhutaya namah suaha” (Sudarsana, 2001: 93—94).
Terjemahan bebas:
Sa, Ba, Ta, A, I,
semua yang disebut sebagai bhuta,
wahai Engkau Sang Bhuta Naresswari,
keluarlah Engkau dari kesunyian,
berdiri di tengah-ten gah dunia,
saksikanlah aku memberi Engkau makanan,
sebagai suguhan adalah nasi putih kuning,
lauk bawang jahe,
garam (dan) arang,
nikmatilah makanan untuk-Mu,
selesai makan makanan,
buatlah kesenangan oleh-Mu di dunia,
dan terhadap sanak saudaraku,
silakan Engkau menikmati,
selesai menikmati,
kembalilah Engkau ke asal-Mu,
ya Tuhan yang disimbolkan dengan aksara Ang Ah
anugerahkanlah berkah-Mu melalui wujud para bhuta’.
2.2.6 Saa Sěgěhan Putih Kuning
“Singgih Ratu sesuhunan titiyang,
Raja Dewata-Dewati leluhur sareng sami,
titiyang ngaturang sěgěhan putih kuning,
mangda lédang amuktisari sareng sami,
riwus amuktisari,
ledang I Ratu mapaica kesidian,
mangda lédang nuntun titiyang sekeluarga,
ngrereh sandang pangan kinum muah artha brana,
mangda titiyang nénten kirangan sandang pangan kinum lan artha brana,
asapunika pinunas titiyang,
antuk kekiranganipun titiyang nunas pangampura”.
Terjemahan bebas:
‘Hormat kepada-Mu junjungan hamba,
para leluhurku semuanya,
hamba haturkan sěgěhan putih kuning,
sudi kiranya menikmati bersama-sama,
selesai menikmati,
sudilah Engkau memberi anugerah,
sudi kiranya Engkau menuntun hamba sekeluarga,
mencari sandang pangan minuman dan harta benda,
agar hamba tidak kekurangan sandang pangan minuman dan harta
benda,
begitulah permohonan hamba,
atas kekurangannya hamba mohon maaf’.
2.2.7 Mantra Sěgěhan Sasah
“Ong Ang Durgha Bhucari yanamah suaha,
ih Kita Durgha Bhucari,
metu Sira saking sunia,
ingsun pawéh tadah,
saji ganjaran sěga sasah,
iki tadah sajinira,
ngraris amuktisari,
wus Sira amuktisari,
aja angadakaken lara roga kageringan,
angadakaken urip kekarén waras,
dirghayusa ring manusa,
mantuk Sira maring Dang Kahyangan Sira” (Sudarsana, 2001: 82).
Terjemahan bebas:
‘Ya Tuhan yang lambangkan dengan aksara Ang
yang disebut Durgha Bhucari,
wahai Engkau Durga Bhucari,
keluarlah Engkau dari kesunyian,
aku berikan makanan,
upah makanan berupa nasi sasah,
nikmatilah makanan-Mu,
silakan menikmati,
setelah Engkau menikmati,
janganlah membuat berbagai macam penyakit,
ciptakanlah kehidupan yang tertib,
panjang umur pada manusia,
pulanglah Engkau ke asal-Mu’.
2.2.8 Mantra Sěgěhan Sasah Brumbun
“Sa, Ba, Ta, A, I,
Panca Maha Bhutaya namah suaha,
ih Sira Dhurga Bhucari,
metu Kita saking madya,
iki ingsun pawéh sira tadah saji ganjaran,
maka sěga sasah brumbun,
iki tadah sajinira,
wus anadah saji,
aja Sira angadakaken lara roga,
kageringan ring jagaté,
angadakaken Sira urip waras dirghayusa,
ngraris Sira amuktisari,
sumurup Sira ring Bhetari Dhurga,
Ang Ah mertha bhutaya namah suaha” (Sudarsana, 2001: 95)
Terjemahan bebas:
‘Sa, Ba, Ta, A, I,
yang dikenal dengan Panca Maha Bhuta,
wahai Engkau Durga Bucari,
keluarlah Engkau dari tengah,
aku berikan Engkau upah makanan,
berwujud nasi berwarna brumbun,
nikmatilah makananmu,
selesai menikmati,
janganlah Engkau membuat berbagai penyakit,
kesengsaraan di dunia,
ciptakanlah kehidupan yang wajar dan umur panjang,
silakan menikmati,
kembalilah Engkau ke Dewi Durga,
ya Tuhan yang disimbolkan dengan aksara Ang Ah anugerahkanlah
berkah-Mu melalui wujud para bhuta’.
2.2.9 Saa Sěgěhan Cah-Cahan
“Singgih Ratu Sang Bhuta Raja, Kala Raja, Yaksa Raja,
Sang Bhuta Bala, Kala Bala, Yaksa Bala,
puniki titiyang ngaturang sěgěhan nasi cah-cah,
mangda lédang ngwehin para ancangan, bala, wadwa druwéné,
risampun pada amukti saji,
mangda lédang ngamijilang kesidian,
titiyang sekeluarga nunas kerahayuan,
antuk kekiranganipun titiyang nunas pangampura.”
Terjemahan bebas:
‘Hormat kepada raja para Bhuta, Kala, dan Yaksa,
pengikut para bhuta, kala, dan yaksa,
ini hamba persembahkan sěgěhan nasi cahcah,
sudi kiranya Engkau memberikan para pengikut-Mu,
setelah semua menikmati,
sudi kiranya Engkau memberikan anugerah,
hamba sekeluarga mohon keselamatan,
atas kekurangannya hamba mohon maaf’.
2.2.10 Mantra Sěgěhan Agung
“Ong Sang Hyang Purusangkara anugraha ring Sang Kala Sakti,
Sang Hyang Rudra anugraha ring Sang Kala Wisésa,
Sang Durga Dewi anugraha ring Sang Kala Dengen,
ameng-ameng padanira Paduka Bhatara Sakti,
anunggu ri bhumi,
ri pura parhyangan,
ring natar paumahan,
salwir lemah angker,
manusa aweh tadah saji Sira watek Kala Bhuta kabéh,
iti tadah sajinira,
sěga iwak sambléh,
asing kirang asing luput,
nyata pipis sabundel patukune Sira ring pasar agung,
pilih kabélanira ajaken Sang Kalanira kabéh,
nyah Kita saking kéné,
hapan Sira sampun sinaksénan,
wéhana manusanira urip waras,
dhirgayusa,
Ong Kala bhoktaya namah,
bhuta bhoktaya namah,
pisaca bhoktaya namah,
dhurga bhoktaya namah” (Arwati, 1992: 35-36; PY, 2005: 117).
Terjemahan bebas:
‘Ya Tuhan sebagai Sang Hyang Purusangkara menjelma sebagai
Sang Kala Sakti,
Sang Hyang Rudra menjelma sebagai Sang Kala Wisesa,
Sang Durgha Dewi menjelma menjadi Sang Kala Dengen,
bersenang-senanglah Engkau Paduka Bhatara Sakti,
menjaga dunia,
di tempat suci,
di pekarangan rumah,
setiap tempat yang angker,
hamba menghaturkan sajen kepada-Mu Bhuta Kala sekalian,
nikmatilah persembahan (untuk)-Mu,
nasi lengkap dengan lauk yang dipotong,
atas kekurangan dan kelebihannya,
ini adalah uang satu bendel berbelanjalah Engkau di pasar agung,
ajaklah semua pengikut-Mu,
pergilah Engkau dari sini,
karena Engkau sudah hadir,
berikanlah hamba kesehatan,
umur panjang,
ya Tuhan sebagai kala restuilah,
bhuta restuilah,
pisaca restuilah,
durga restuilah’.
2.2.11 Mantra Sěgěhan Agung
“Ih Kita Sang Kala Bala,
Sang Yaksa Bala,
Sang Kala Bhumi,
muah raksasa bala,
mari Sira,
ingsun pawéh Sira sěga ganjaran sěga agung,
muah ganjaran rah ayam ireng,
iki tadah sajinira,
ngraris muktisari,
wus Sira muktisari,
aja lupa ring tutur-tutur Sang Hyang Dharma,
muah pawéha manusanira kedirghayusan,
sumurupa Sira manadi prawatek widyadara-widyadari,
Ong Ing namah” (Sudarsana, 2001: 84)
Terjemahan bebas:
‘Wahai Engkau Sang Kala Bala,
Sang Yaksa Bala,
Sang Kala Bhumi,
dan pengikut para raksasa,
berbahagialah Engkau,
hamba berikan Engkau persembahan sěgěhan agung,
dan persembahan darah ayam hitam,
nikmatilah persembahan untuk-Mu,
silakan menikmati,
setelah Engkau menikmati,
janganlah lupa kepada ajaran Sang Hyang Dharma,
dan anugerahkanlah kepada hamba umur yang panjang,
menjelmalah Engkau menjadi bidadara dan bidadari,
terpujilah Tuhan yang disimbolkan dengan aksara Ing’.
2.2.12 Saa Sěgěhan Wong-Wongan Putih
“Singgih Ratu Sang Bhuta Raja Bhuta Bala,
titiyang ngaturang sěgahan wong-wongan putih,
maiwak bawang jahé jajeron matah,
pinaka pengantin jiwa pramanan titiyang sekeluarga,
durus pada amuktisari,
riwus amuktisari,
lédang sareng sami micayang kesidiyan,
titiyang nunas keselametan,
dirgahayu dirgayusa,
luput ring sehananing pancabaya,
asapunika pinunas titiyang,
kirang langkung antuk titiyang,
mogi lédang I Ratu ngampurayang”.
Terjemahan bebas:
‘Hormat Tuanku Sang Bhuta Raja dan Bhuta Bala,
hamba menghaturkan sěgěhan wong-wongan berwarna putih,
dengan lauk bawang jahe dan jeroan mentah,
sebagai pengganti jiwa hamba sekeluarga,
silakan menikmati,
setelah menikmati,
sudilah Engkau sekalian mengeluarkan kesaktian,
hamba mohon keselametan,
selamat dan panjang umur,
bebas dari sěgala mara bahaya,
begitulah permohonan hamba,
kurang lebih oleh hamba,
semoga Engkau memaafkan’.
2.2.13 Saa Sěgěhan Wong-Wongan Brumbun
“Singgih Ratu Sang Kala Raja Kala Bala,
titiyang ngaturang sěgahan wong-wongan brumbun,
maiwak bawang jahé jějěron matah,
pinaka pengantin jiwa pramanan titiyang sekeluarga,
durus pada amuktisari,
riwus amuktisari,
lédang sareng sami micayang kesidian,
titiyang nunas keselametan,
dirgahayu dirgayusa,
luput ring sehananing pancabaya,
asapunika pinunas titiyang,
kirang langkung antuk titiyang,
mogi lédang I Ratu ngampurayang”.
Terjemahan bebas:
‘Hormat Tuanku Sang Bhuta Raja dan Bhuta Bala,
hamba menghaturkan sěgěhan wong-wongan berwarna putih,
dengan lauk bawang jahe dan jeroan mentah,
sebagai pengganti jiwa hamba sekeluarga,
silakan menikmati,
setelah menikmati,
sudilah Engkau sekalian mengeluarkan kesaktian,
hamba mohon keselamatan,
selamat dan panjang umur,
bebas dari sěgala mara bahaya,
begitulah permohonan hamba,
kurang lebih oleh hamba,
semoga Engkau memaafkan’.
2.2.14 Saa Sěgěhan Kěpěl Gede
“Singgih Ratu sasuhunan titiyang Sang Adikala,,
lédang I Ratu rawuh,
titiyang ngaturang sěgěhan kěpěl gedé,
maiwak bawang jahé miwah jějěron matah,
durus I Ratu amuktisari,
risampun amuktisari,
mangda lédang ngamijilang kasidian,
titiyang nunas kerahayuan lan panjang yusa,
antuk kekirangan titiyang,
lédang I Ratu ngampurayang”.
Terjemahan bebas:
‘Hormat pada Paduka junjungan hamba yang disebut Sang Adikala,
sudi kiranya Engkau datang,
hamba persembahkan sěgěhan kěpěl gedé,
dengan lauk bawang jahe (dan) jeroan mentah,
silakan Engkau menikmati,
setelah bersantap,
sudi kiranya Engkau menganugerahkan kekuatan,
hamba mohon keselamatan dan panjang umur,
atas kekurangan hamba,
sudilah Engkau memaafkan’.
2.2.15 Saa Sěgěhan Tuutan
“Singgih Ratu sasuhunan titiyang Ratu Gedé Mecaling,
mangda lédang I ratu rawuh,
puniki titiyang ngaturang sěgěhan don biyah,
mabé bawang jahé miwah sere,
durusang amuktisari,
sareng ancangan, bala, wadwa sami,
risampun wusan amuktisari,
mangda ledang I Ratu mapaica kesidian,
titiyang nunas mangda luput ring sehananing gring,
grubug ngutah bayar,
muah ring sasab mrana,
wantah asapunika atur titiyang,
antuk kekirangan lan kaiwangan titiyang,
lédang I Ratu ngampurayang”.
Terjemahan bebas:
‘Hormatku Paduka junjungan hamba Ratu Gedé Mecaling’
sudi kiranya Engkau datang,
ini hamba persembahkan sěgěhan don biyah,
dengan lauk bawang jahe dan terasi,
silakan menikmati,
bersama para senapati, bala tentara, dan rakyat semunya,
kalau sudah selesai bersantap,
sudi kiranya Engkau menganugerahkan kekuatan,
hamba mohon agar terbebas dari sěgala penyakit,
wabah dan muntah darah,
dan virus (serta) mara bahaya,
hanya itu permohonan hamba,
atas sěgala kekurangan dan kesalahan hamba,
sudilah Engkau memaafkan’.
2.2.16 Saa Sěgěhan Tumpěngl Putih Kuning
“Singgih Ratu Sang Hyang Nawaruci,
titiyang ngaturang sěgěhan nasi tumpěngl pucak kuning,
maiwak bawang jahe muah jějěron matah,
ledang I Ratu amuktisari,
risampun amuktisari,
mangda lédang micayang keselametan,
titiyang sekeluarga nunas dirgahayu dirgayusa,
asapunika atur titiyang,
lédang I Ratu mantuk ring dang kahyangan soang-soang,
antuk kekiranganipun,
mangda lédang ngampurayang”.
Terjemahan bebas:
‘Hormatku ya Tuhan sebagai Sang Hyang Nawaruci,
hamba menghaturkan sěgěhan nasi tupeng puncak kuning,
dengan lauk bawang jahe dan jeroan mentah,
sudilah Engkau menikmati,
selesai menikmati,
sudilah menganugerahkan keselamatan,
hamba sekeluarga mohon keselamatan dan umur panjang,
begitulah permakluman hamba,
sudilah Engkau kembali ke asal-Mu masing-masing,
atas kekurangannya,
sudi kiranya memaafkan’.
2.2.17 Saa Sěgěhan Tulak
2.2.17.1 Saa Sěgěhan Sliwah
“Ratu sasuhunan titiyang Sang Bhuta Sliwah,
titiyang ngaturang sěgěhan sliwah,
mabé bawang jahé muah jějěron matah,
durus amuktisari,
wus punika lédang ngamijilang kesidian,
mangda sehananing wisya tan ngawisyanin,
sehananing cetik dadi tawar,
sehananing lara tan ngalaranin ring angga sariran titiyang,
asapunika pinunas titiyang,
yaning wénten kekiranganipun mangda lédang ngampurayang”.
Terjemahan bebas:
‘Tuanku sesembahan hamba Sang Bhuta Sliwah,
hamba mempersembahkan sěgěhan sliwah,
dengan lauk bawang jahe dan jeroan mentah,
silakan menikmati,
setelah itu sudilah mengeluarkan kesaktian,
agar sěgala bisa tidak menyebabkan sakit,
sěgala racun menjadi tawar,
sěgala penyakit tidak terasa sakit di dalam tubuh hamba,
begitulah permohonan hamba,
kalau ada kekurangannya hamba mohon maaf’.
2.2.17.2 Saa Sěgěhan Kěpěl Poleng
“Ratu sasuhunan titiyang Sang Bhuta Poléng,
titiyang ngaturang sěgěhan kěpěl poléng,
mabé bawang jahé muah jějěron matah,
durus amuktisari,
wus punika ledang ngamijilang kesidian,
mangda lédang I Ratu mancut kesidian pagawé ala,
minakadi cetik, wisya, papasangan, acep-acepan,
sané katiba ring angga sariran titiyang
asapunika pinunas titiyang,
yaning wénten kekiranganipun mangda lédang ngampurayang”.
Terjemahan bebas:
‘Tuanku sesembahan hamba Sang Bhuta Poléng,
hamba mempersembahkan sěgěhan kěpěl poléng,
dengan lauk bawang jahe dan jeroan mentah,
silakan menikmati,
setelah itu sudilah mengeluarkan kesaktian,
sudilah Engkau menghilangkan pengaruh hal yang tidak baik’
seperti racun, bisa, pepasangan, teluh,
yang ditujukan kepada diri hamba,
begitulah permohonan hamba,
kalau ada kekurangannya sudi kiranya memaafkan’.
2.2.17.3 Saa Sěgěhan Tulak
“Ratu sasuhunan titiyang Sang Bhuta Mandi,
titiyang ngaturang sěgěhan tulak,
mabé bawang jahé muah jějěron matah,
durus amuktisari,
wus punika lédang ngamijilang kesidian,
mangda lédang I Ratu nulak sehananing ala,
minakadi cetik, wisya, papasangan, acep-acepan,
sané katiba ring angga sariran titiyang
mangda mawalik ring sang agawé ala,
asapunika pinunas titiyang,
yaning wénten kekiranganipun mangda lédang ngampurayang”.
Terjemahan bebas:
‘Tuanku sesembahan hamba Sang Bhuta Mandi,
hamba mempersembahkan sěgěhan tulak,
dengan lauk bawang jahe dan jeroan mentah,
silakan menikmati,
setelah itu sudilah mengeluarkan kesaktian,
sudi kiranya Engkau menolak sěgala hal yang tidak baik,
seperti racun, bisa, pepasangan, teluh,
yang ditujukan kepada diri hamba,
agar kembali kepada orang yang berbuat tidak baik,
begitulah permohonan hamba,
kalau ada kekurangannya sudi kiranya memaafkan’.
2.2.18 Mantra Sěgěhan Kěpěl Sliwah
“Sa Ba Ta A I,
sarwa bhutaya namah swaha,
ih Kita Sang Butha Naréswari,
metu Kita saking sunia,
angadeg ring madyaning bumi,
iki saksinin ingsun pawéh Sira tadah,
maka saji sěga kěpěl sliwah,
lelaban bawang jahé,
uyah areng,
iki tadah sajinira,
wus anadah saji,
angawé suka subagia Sira maring bhumi,
muah ring sanak keluarganku,
ngeraris Sira amuktisari,
wus amuktisari,
sumurup Sira ring dang kahyangan Sira,
Ang Ah mertha bhutaya namah suaha” (Sudarsana, 2001: 94).
Terjemahan bebas:
‘Sa Ba Ta A I,
semua yang disebut sebagai bhuta kala,
wahai Engkau Sang Butha Naresswari,
keluarlah Engkau dari kesunyian,
berdiri di tengah-tengah dunia,
saksikanlah aku memberikan-Mu suguhan,
suguhan berupa nasi kěpěl sliwah,
lauknya bawang jahe,
garam dan arang,
nikmatilah suguhan-Mu
silakan menikmati,
setelah makan suguhan,
ciptakanlah kesenangan ketentraman di dunia,
dan kepada sanak keluargaku,
silakan Engkau menikmati,
selesai menikamti,
kembalilah Engkau ke asal-Mu,
ya Tuhan yang disimbolkan dengan aksara Ang Ah anugerahkanlah
berkah-Mu melalui wujud para bhuta’.
2.2.19 Mantra Sěgěhan Sěgěhan Kěpěl Poleng
“Sa Ba Ta A I,
sarwa bhutaya namah swaha,
ih Kita Sang Butha Narésswari,
metu Kita saking sunia,
angadeg ring madyaning bumi,
iki saksinin ingsun pawéh Sira tadah,
maka saji sěga kěpěl poléng,
lalaban bawang jahé,
uyah areng,
iki tadah sajinira,
wus anadah saji,
anggawé suka subagia Sira maring bhumi,
muah ring sanak keluarganku,
ngeraris Sira amuktisari,
wus amuktisari,
sumurup Sira ring dang kahyangan Sira,
Ang Ah mertha bhutaya namah suaha” (Sudarsana, 2001: 94).
Terjemahan bebas:
‘Sa Ba Ta A I,
semua yang disebut sebagai bhuta kala,
wahai Engkau Sang Butha Naresswari,
keluarlah Engkau dari kesunyian,
berdiri di tengah-tengah dunia,
saksikanlah aku memberikan-Mu suguhan,
suguhan berupa nasi kěpěl poleng,
lauknya bawang jahe,
garam dan arang,
nikmatilah suguhan-Mu
silakan menikmati,
setelah makan suguhan,
ciptakanlah kesenangan ketentraman di dunia,
dan kepada sanak keluargaku,
silakan Engkau menikmati,
selesai menikamti,
kembalilah Engkau ke asal-Mu,
ya Tuhan yang disimbolkan dengan aksara Ang Ah anugerahkanlah
berkah-Mu melalui wujud para bhuta’.
2.2.20 Mantra Sěgěhan dalam Caru Pancasata
“Pukulun Bhatari Dhurga,
sampun katur bakti caru ring Paduka Bhatari,
mwah sampun kabukti para manca caruné ring pancabuthan Paduka Bhatari,
ica Paduka Bhatari ngaluwarang,
parama bhuta pada budal ring pakayangan,
wusan sampun,
mantuk Paduka Bhatari,
anuwut p ěpénjoran,
Ong Ang Ung Mang,
Dewa bhuta mauwaran,
manusa nglungsur paridan,
duluran rahayu,
Ong Ang Mang “ (KS: 15).
Terjemahan bebas:
‘Hormat (ku) Bhatari Durga,
sudah hamba suguhkan caru kepada-Mu,
dan sudah dinikmati oleh kelima pengikut-Mu,
berkenanlah Engkau bubar,
raja para bhuta semua kembali ke asalnya,
selesai sudah,
kembalilah Engkau,
menuruti pepénjoran,
Ong Ang Ung Mang,
dewa dan bhuta pada bubar,
manusia mohon anugerah,
dengan keselamatan,
terpujilah Tuhan yang disimbolkan dengan aksara Ang dan Mang’.
2.2.21 Mantra Sěgěhan Melaspas Etéh-Etéh Sesaté
“Ih Sang Bhuta Sangapati sarwa wigraha,
iti tadah sajinira soang-soang,
aja salah ulah silih gawé,
poma-poma-poma” (Pegal Mangsa: 15).
Terjemahan bebas:
‘Wahai Sang Bhuta Sangapati sumber bencana,
ini nikmatilah persembahan untuk-Mu masing-masing,
janganlah Engkau berbuat yang tidak semestinya,
bertuah, bertuah, bertuah’.
2.2.22 Mantra Sěgěhan pada umumnya
“Om bhuktyantu Dhurga Katara,
bhuktyantu Kala Mawaca,
bhuktyantu Bhuta Bhutangah.” (Raras, 2004: 39).
Terjemahan bebas:
‘Ya Tuhan inilah suguhan hamba kepada Durgha Katara,
suguhan kepada Kala Mawaca,
dan suguhan kepada Bhuta Butangah’.
2.2.23 Mantra Sěgěhan saat Penampahan Galungan
“Pukulun Sira Kaki Bagawan Galungan,
Bhetara Kala Bhetara Jabung,
iki pasuguhan manusanta lawan Sira,
Sang Kala samadaya,
lan tarimanen,
asing kirang asing luput,
iki pirak 200,
maka panukunia manusa,
aneda rahayu,
suastiastu suaha” (Jaya Kasunu: 23).
Terjemahan bebas:
‘Tuanku Kakek Bagawan Galungan,
Batara Kala dan Batara Jabung,
inilah persembahan hamba kepada-Mu,
kepada semua bhuta kala,
dan terimalah,
kalau ada kekurangan,
ini uang perak 200,
sebagai pengganti manusia,
mohon keselamatan,
semoga selamat’.
BAB III
WUJUD RITUAL DAN MAKNA SĚGĚHAN
3.1 Pengantar
Sěgěhan, oleh sebagian masyarakat Bali, misalnya di Kabupaten Badung juga dikenal dengan sebutan blabaran. Kata blabaran berasal dari kata blabar ’banjir’, mendapat sufiks –an menjadi blabaran berarti ‘kebanjiran’. Konon, sebutan itu digunakan berdasarkan mimpi yang dialami seseorang. Maksudnya, apabila ada orang yang bermimpi terkena musibah banjir atau kebanjiran, itu adalah pertanda buruk. Sehubungan dengan itu, orang yang bersangkutan harus segera mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan atau manifestasi-Nya untuk menangkal mara bahaya yang mungkin akan menimpanya. Persembahan untuk menangkal bahaya tersebut di Bali dikenal dengan sěgěhan. Sěgěhan adalah ritual kurban atau caru dalam tingkatan kecil atau sederhana. Tingkatan yang lebih besar lagi disebut dengan tawur.
Sěgěhan sebagai sebuah wujud ritual dalam masyarakat Hindu di Bali memiliki bentuk yang beraneka ragam, sesuai dengan keperluan. Sěgěhan adalah kurban atau ritual persembahan yang bukan bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur. Secara umum, fungsi sěgěhan ada empat, yaitu 1) untuk sarana persembahan, 2) untuk permohonan, 3) untuk penghormatan, dan 4) untuk membayar hutang (Bhuta Rnam).
Wujud ritual dalam hal ini adalah rupa atau bentuk ritual sěgěhan. Wujud ritual sěgěhan itu bermacam-macam sesuai dengan tujuan pembuatan dan permohonannya. Bagaimanapun wujudnya, bahan utamanya tidaklah berbeda, yaitu nasi atau sěga. Yang berbeda-beda antara di suatu daerah dan daerah lainnya adalah alas yang digunakan. Di beberapa daerah menggunakan daun pisang sebagai alas, dan di daerah yang lainnya menggunakan janur. Selain itu, ada juga masyarakat yang menggunakan daun pohon dadap atau daun pohon yang lain sebagai alasnya.
Seperti telah dijelaskan di depan, sěgěhan adalah wujud ritual kurban yang ditujukan kepada para bhuta kala beserta pengikut-Nya. Sebagai sebuah ritual kurban, sěgěhan adalah wujud ritual berupa nasi yang dibentuk sedemikian rupa yang dilengkapi dengan lauk bawang, jahe, darah, dan sebagainya. Sebagai minumannya adalah lima jenis cairan, yaitu 1) arak, 2) tuak, 3) b ěr ěm, 4) darah, dan 5) air.
Hal itu sejalan dengan pendapat Dhavamony (2002: 214) yang mengatakan bahwa, upacara kurban adalah persembahan ritual berupa makanan atau minuman atau binatang, sebagai konsumsi bagi suatu mahluk supernatural.
Berbicara masalah wujud ritual atau bentuk, dalam hal ini tidak bisa lepas dari fungsi dan makna. Artinya, di dalam wujud ritual atau bentuk-bentuk sěgěhan itu terkemas fungsi dan makna. Dalam tulisan ini fungsi tidak dibahas secara khusus, karena sudah sangat jelas. Makna dalam bab ini adalah makna kontekstual, yaitu makna yang ada di balik wacana ritual sěgěhan masing-masing. Untuk lebih jelasnya, tentang wujud ritual dan makna wacana sěgěhan yang dimaksud akan diuraikan satu persatu berikut ini.
3.2 Sěgěhan Saiban
Saiban adalah sajen kecil setiap habis memasak (Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I Bali, 1991: 596). Sěgěhan Saiban adalah sěgěhan yang dipersembahkan oleh masyarakat Hindu Bali setiap hari. Wujud sěgěhan tersebut berupa nasi dengan alas daun pisang atau daun pohon yang lainnya yang berukuran kurang lebih 5 cm. Persembahan tersebut dibuat lengkap dengan lauknya. Lauknya sesuai dengan apa yang dimasak. Artinya, tidak ada suatu keharusan untuk menghaturkan lauk tertentu. Apa yang dimasak oleh masyarakat Hindu Bali, itulah yang menjadi lauknya.
Sěgěhan saiban bagi sebagian masyarakat juga disebut sebagai banten jotan. Menurut Lontar Dharmasastra seorang kepala keluarga mempunyai lima macam penyembelihan, yaitu tempat memasak, batu pengasah, sapu, lesung/lumpang dengan alunya, dan tempayan/tempat air. Sěgěhan saiban hendaknya dipersembahkan hanya kepada alat-alat tersebut (Swarsi, 2003: 84).
Dalam kepercayaan masyarakat Hindu Bali, alat-alat seperti tersebut di atas memiliki jasa yang amat besar dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, apapun yang dimakan oleh mereka harus dipersembahkan kepada alat-alat tersebut.
Sěgěhan saiban dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu di Bali tidak hanya dipersembahkan kepada peralatan tersebut di atas, tetapi juga kepada dewa-dewa atau manifestasi Tuhan dan bhuta kala di setiap tempat yang umumnya digunakan sebagai tempat persembahyangan seperti tempat beras, pelangkiran, halaman rumah, sanggah/ merajan, lebuh atau jalan.
Sěgěhan saiban mengandung makna sebagai ungkapan terima kasih atau rasa syukur masyarakat Hindu Bali kepada Tuhan, bhuta kala dan sebagai ungkapan terima kasih kepada benda-benda ciptaan-Nya yang telah banyak berjasa dalam kehidupan di dunia ini.
Menurut Sudarsana (2001: 86—87), sěgěhan saiban mengandung makna sebagai sarana pengeruat/penyupatan terhadap mahluk-mahluk selain manusia karena tergolong mahluk papa. Hanya manusialah diharapkan melakukan penyupatan agar nanti kalau reinkarnasi dapat menjadi manusia. Di samping itu, memiliki nilai tinggi terhadap karma manusia karena disadari bahwa sěgala sesuatu yang dimakan adalah berkat ciptaan-Nya. Oleh karena itu, sěgala sesuatu yang akan dimakan hendaknya terlebih dahulu dipersembahkan kepada-Nya.
Pernyataan tersebut terangkum dalam kitab suci Bhagawad Githa Bab III sloka 13 sebagai berikut.
Yajña-sistasinah santo
mucyanté sarva-kilbisaih,
bhuñjaté té tv agham papa
yé pacanty atma-karanat.
Terjemahan:
‘Ia yang memakan siasa yadnya akan terlepas dari dosa, (tetapi) ia yang memasak makanan bagi diri sendiri, sesungguhnya makan dosa.’
Adapun yang dimaksud dengan sisa yadnya adalah semua makanan yang diperoleh setelah terlebih dahulu sebagain disajikan kepada yang patut diberi sajian atau Pribadi Yang paling Utama. Orang yang menyantap makanan sisa dari yang telah disajikan itu, dianggap bebas dari dosa dan kesalahan. Orang yang menanak nasi untuk diri sendiri tanpa ngejot, itulah yang disebut bersalah. Orang yang menyiapkan makanan untuk kepuasan diri tidak hanya menjadi pencuri, tetapi juga memakan sěgala jenis dosa (Pudja, 2005: 86—87), (Sri Srimad, 2000: 178).
3.3 Sěgěhan Pulangan
Sěgahan pulangan adalah salah satu jenis sěgěhan yang terdiri atas lima wujud, yaitu putih, kuning, barak ‘merah’, selem ’hitam’, dan brumbun ’campuran warna merah, putih, dan hitam’. Masyarakat Hindu kebanyakan, menyebutnya sebagai sěgěhan mancawarna ‘lima warna’. Artinya, sěgěhan pulangan disamakan dengan sěgěhan mancawarna. Namun, kalau dikaji lebih jauh, sěgěhan pulangan tidaklah sama dengan sěgěhan mancawarna. Berikut adalah wujud sěgěhan Pulangan.
Sěgěhan pulangan adalah lambang persembahan kepada perwujudan Sang Hyang Panca Dewata sebagai lima bhuta. Bentuknya adalah seperti tersebut di atas. Sedangkan sěgěhan mancawarna adalah lambang persembahan kepada Sang Bhuta Mancawarna. Bentuk dan warnanya berbeda, yaitu memakai satu alas dengan lima warna yang digabung menjadi satu. Berbeda dengan sěgěhan pulangan yang memakai lima alas.
Pemahaman masyarakat tentang warna brumbun itu sendiri pun berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa warna brumbun itu terdiri atas campuran lima warna, dan ada pula yang mengatakan empat warna. Namun kenyataannya, yang disebut brumbun itu terdiri atas tiga warna, yaitu merah, putih, dan hitam. Begitu pula halnya dengan mancawarna yang sebenarnya terdiri atas 4 warna (merah, putih, kuning, dan hitam). Mengapa pula selanjutnya disebut pancawarna? Karena, ada satu warna lagi sebagai campuran atas keempat warna tersebut.
Sěgěhan pulangan seperti tersebut di atas mengandung makna sebagai wujud persembahan kepada Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai perwujudan Sang Hyang Panca Dewata sebagai lima dewa penjaga penjuru mata angin. Di Timur adalah Dewa Iswara dengan warna putih, di Selatan adalah Brahma dengan warna merah, di Barat adalah Mahadéwa dengan warna kuning, di Utara adalah Wisnu dengan warna hitam, dan di Tengah adalah Siwa dengan warna brumbun. Kelima Dewata itu menjelma sebagai lima bhuta, yaitu Iswara menjadi Sang Bhuta Putih, Brahma menjadi Sang Bhuta Abang ’merah’, Mahadéwa menjadi Sang Bhuta Kuning, Wisnu menjadi Sang Bhuta Ireng ’hitam’, dan Siwa menjadi Sang Bhuta Mancawarna.
Sěgěhan pulangan bagi masyarakat yang mendalami filsafat Hindu, juga diartikan sebagai lambang persembahan kepada Sang Hyang Panca Maha Bhuta (I Ratu Ngurah Tangkeb Langit, I Ratu Wayan Teba, I Ratu Madé Jlawung, I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, dan I Ratu Ketut Petung), melalui perwujudan-Nya sebagai Sang Catur Sanak (Anggapati, Mrajapati, Banaspati, Banaspatiraja) dan Sang Bhuta Dengen. Sěgěhan warna putih ditujukan kepada Sang Bhuta Anggapati atau I Ratu Ngurah Tangkeb Langit, warna merah ditujukan kepada Sang Bhuta Mrajapati atau I Ratu Wayan Teba, warna kuning ditujukan kepada Sang Bhuta Banaspati atau I Ratu Madé Jlawung, warna hitam ditujukan kepada Sang Bhuta Banaspatiraja atau I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, dan warna brumbun ditujukan kepada Sang Bhuta Dengen atau I Ratu Ketut Petung (Suastana, 2003: 3—6).
3.4 Sěgěhan Putih Kuning
Sěgěhan kěpěl putih kuning adalah sajen sěgěhan kěpěl yang berwarna putih dan kuning, beralaskan taledan, dengan lauk bawang merah, jahe, dan garam (Kamiartha, 1992: 58). Jadi, yang dimaksud dengan sěgěhan kěpěl putih kuning adalah salah satu jenis sěgěhan yang terbuat dari nasi yang dikepal dan diberi warna putih dan kuning. Di bagian atas dilengkapi dengan porosan atau canang, dan di bawahnya dilengkapi dengan lauk bawang merah, garam, dan jahe. Berikut adalah wujud ritualnya.
Warna putih dan kuning pada sěgěhan itu mengandung makna kesucian dan kebijaksanaan. Umumnya sěgěhan tersebut dipersembahkan kepada para pengikut roh-roh leluhur.
Selain untuk persembahan kepada roh leluhur, sěgěhan putih kuning juga dipersembahkan kepada Tuhan atau manifestasi-Nya yang belum diketahui secara pasti. Masyarakat Hindu di Bali menganggap bahwa sěgěhan tersebut bersifat netral atau dapat dipersembahkan kapan saja dan dimana saja kepada roh-roh ataupun manifestasi Tuhan yang dianggap suci.
Menurut Sudarsana (2001: 81), sěgěhan putih kuning mengandung makna sebagai simbol kekuatan Bhuta Nareswari yang dapat mempengaruhi jiwa manusia untuk berperilaku malas dan boros. Untuk menetralkan pengaruh itu pada diri seseorang, perlu dibuatkan sěgěhan putih kuning.
3.5 Sěgěhan Sah-Sah
Kata sah-sah adalah bentuk ulang dalam bahasa Bali yang berasal dari kata asah yang berarti ‘rata’. Kata sah-sah itu sendiri berarti ‘dibuat rata’. Sěgěhan sah-sah adalah sebuah wujud ritual sěgěhan yang nasinya ditaruh begitu saja atau terurai; tanpa warna; beralaskan daun telujungan ‘pucuk daun pisang’; dengan lauk jějěron matah ‘jeroan mentah’, uyah ‘garam’, bawang ‘bawang merah’, dan jahé ’jahe’. Adapun wujud ritualnya adalah sebagai berikut.
Sěgěhan sah-sah adalah sebuah wujud ritual yang biasanya dipersembahkan kepada para mahluk-mahluk halus seperti wong samar, deté, tonya, dan sebagainya. Secara implisit dalam Ajaran Kandapatsari dijelaskan bahwa sěgěhan sah-sah digunakan sebagai persembahan kepada mahluk halus yang berada di bawah kekuasaan Ratu Gedé Mecaling. Pada saat-saat tertentu, sěgěhan sah-sah juga digunakan sebagai lambang persembahan kepada bhuta kala yang berfungsi sebagai penjaga perbatasan yang disebut sebagai Sang Bhuta Pemali Wates.
3.6 Sěgěhan Cah-cahan
Sěgěhan cah-cahan adalah sajen sěgěhan yang beralaskan taledan yang berisi beras, benang putih, uang, base tampél, dan bijaratus (Kamiartha, 1992: 58). Sěgěhan cah-cah atau cah-cahan dalam tulisan ini adalah sebuah wujud ritual sěgěhan dengan nasi berwarna putih, yang dibentuk kecil-kecil seperti di-cah-cah ‘direcah’ dan ditaruh di atas tamas ‘alas daun kelapa yang dibentuk menyerupai piring’. Kata cah-cahan adalah kosa kata bahasa Bali yang berarti ‘recahan’. Wujud ritual sěgěhan tersebut bersama-sama dengan wujud ritual lainnya, umumnya dipersembahkan untuk ritual bhuta yadnya ‘persembahan kepada bhuta kala’ yang sederhana seperti pada saat keliwon, purnama, dan tilem (Pemprov. Bali, 2005: 115). Berikut adalah wujud ritualnya.
Sěgěhan cah-cahan yang utuh seharusnya terdiri atas atau berjumlah 133 buah. Namun, ada kalanya dibuat 108, 66, 33, atau 11 buah. Angka-angka tersebut mengandung makna sebagai berikut. Angka 133 menggambarkan bahwa sěgěhan itu ditujukan kepada bhuta kala yang seluruhnya berjumlah 133. Dalam ajaran kandapatsari dijelaskan bahwa ada 133 bhuta kala yang dikenal dalam ajaran Hindu. Dikenal dalam hal ini mengandung makna ‘diketahui nama, tugas, dan fungsinya’.
Menurut lontar Sundari Siksa, ada 1800 bhuta kala di alam ini. Berikut adalah kutipannya.
“pawilangan kala haneng bhuwana kwehnya siyu domas, yan maring umah séket pat-pat, lwirnya maring purwa pañca tang kala, ring gnéyan kutus tang kala, ring daksina siya, ring nériti tatiga, pascima pitu, ring wayabya siki, ring uttara pat-pat, ring érsanya nem-nem, ring madya kutus, ring lawanging pemesuan siki, ring kiwa tengening pemesuan sama satunggal, pasamodhayanya séket pat-pat…”
Terjemahan:
‘Menurut perhitungan bhuta kala di dunia ini berjumlah 1800, kalau di lingkungan rumah 54, yaitu di Timur berjumlah lima, di Tenggara delapan, di Selatan sembilan, di Barat tujuh, di Barat Daya tiga, di Barat Laut satu, di Utara empat, di Timur Laut enam, di Tengah delapan, di pintu masuk pekarangan satu, di kiri kanan pintu masuk pekarangan rumah sama juga berjumlah satu, seluhnya adalah lima puluh empat…’
Dalam hubungannya dengan sěgěhan cah-cahan adalah bhuta kala itu berjumlah 133. Mengapa jumlah 133 itu justru menjadi 108, 66, 33, dan 11? Hal itu disebabkan sudah ada wujud sěgěhan yang lain sebagai penggantinya, misalnya sěgěhan agung, pulangan, wong-wongan, sah-sah, dan sebagainya. Makin kecil jumlah sěgěhan cah-cahan itu disebabkan oleh makin banyak ada sěgěhan yang lain yang dianggap telah melengkapi jumlah tersebut.
3.7 Sěgěhan Agung
Sěgěhan agung adalah sěgěhan yang beralaskan nyiru yang berisi nasi, bawang merah, jahe, garam, dan uang (Kamiartha, 1992: 58). Biasanya, sěgěhan agung dilengkapi dengan kelapa dan telur itik mentah. Sěgěhan tersebut dibuat di atas alas nyiru yang berisi beras. Di tengahnya diberi tempat sebagai alas kelapa yang di sampingnya susun sebuah kemiri, telor, pangi ‘keluek’, gagantusan, peselan. Di luarnya diisi nasi 11 porsi yang disusun berdasarkan mata angin (Sudarsana, 2001: 83). Sěgěhan tersebut juga dilengpaki canang gantal, dan canang rebong. Sesusai dipersembahkan, beras serta perlengkapannya ditaburkan ke empat penjuru, yaitu Timur, Selatan, Barat, dan Utara (Swarsi, 2003: 79). Lebih jelasnya, perhatikan wujud ritual berikut.
Makna yang terkandung dalam wujud ritual sěgěhan agung adalah sebagai berikut. Kata agung dalam hal ini bukan berarti ‘besar’, tetapi ‘menyeluruh’. Maksudnya, sěgěhan agung bukanlah berarti sěgěhan besar seperti pemahaman masyarakat Hindu pada umumnya, melainkan sěgěhan yang ditujukan kepada seluruh bhuta kala dan pengikut-Nya. Hal itu tercermin dari nasi 11 porsi yang ditaruh berdasarkan mata angin dan beras serta perlengkapan yang ditaburkan ke empat penjuru mata angin. Nasi yang ditaruh disetiap arah mata angin itu mengandung makna bahwa sěgěhan itu ditujukan kepada suluruh bhuta kala yang ada di sěgala penjuru mata angin. Penaburan beras dan perlengkapan yang lain mengandung makna sebagai pemberian kepada seluruh bhuta kala yang menempati keempat penjuru yang mungkin tidak dapat hadir saat ritual dilaksanakan.
3.8 Sěgěhan Wong-Wongan
Sěgěhan wong-wongan adalah sebuah wujud ritual berupa nasi yang dibentuk menyerupai orang atau manusia. Kata ulang wong-wongan ‘orang-orangan’ berasal dari kata wong ‘orang/manusia’. Sěgěhan tersebut dilengkapi dengan lauk jějěron matah ‘jeroan mentah’, bawang merah, jahe, dan garam. Adapun warna nasi yang digunakan adalah bermacam-macam, ada yang berwarna putih, merah, dan brumbun, sesuai dengan keperluan masyarakat. Berikut adalah wujud ritualnya.
Secara kontekstual, makna sěgěhan wong-wongan adalah lambang persembahan sebagai pengganti diri dan nyawa orang yang mempersembahkannya. Wujud sěgěhan berupa manusia adalah wujud ritual yang dipersembahkan kepada bhuta kala dengan harapan memperoleh keselamatan. Jeroan mentah memiliki makna sebagai jeroan/ isi perut manusia sebagai pelaku persembahan. Sedangkan, bawang merah, garam, jahe adalah pelengkap persembahan yang membuat suguhan kepada bhuta kala tersebut menjadi lebih enak.
3.9 Sěgěhan Kěpěl Gedé
Sěgěhan kěpěl gedé adalah sebuah wujud ritual sěgěhan yang beralaskan don telujungan ‘pucuk daun pisang’ yang dibuat dengan cara dikepal/digenggam. Besarnya nasi kepal sesuai dengan besarnya kepalan tangan pembuatnya. Sebagai lauknya adalah jeroan mentah, bawang merah, jehe, dan garam. Wujud ritual tersebut biasanya dipersembahkan di tempat suci (merajan) dan di lebuh ‘di jalan di depan rumah’. Ritual ditujukan kepada Sang Bhuta Tiaksa. Berikut adalah bentuk atau wujud ritualnya sěgěhan kěpěl gede.
Sěgěhan kěpěl gedé adalah jenis sěgěhan khusus yang tidak semua orang atau masyarakat umum mengenalnya. Sěgěhan itu hanya dipersembahkan pada saat-saat tertentu. Hanya masyarakat Hindu yang mendalami ajaran agamalah yang biasa melaksanakan ritual tersebut.
Sěgěhan tersebut mengandung makna sebagai lambang persembahan kepada Sang Bhuta Tiaksa yang dalam kepercayaan umat Hindu adalah salah satu punggawa di Pura Dalem Nusa atau Dalem Péd bersama dengan punggawa-punggawa yang lainnya. Berikut adalah punggawa-punggawa lain yang dimaksud, yang dipetik dari Ajaran Kandapatsari.
“…Sang Bhuta Mecaling dadi déwa sakti di Nusa, kairing antuk Sang Bhuta Tiaksa, Sang Bhuta Keli, Sang Bhuta Bregala, Sang Bhuta Narayana, Sang Bhuta Ladrang, Sang Bhuta Pelar, Sang Bhuta Rendah…, punika pada sakti tan kena winilang. Wenang tunasin gering gerubug, pemati léak muah satru…”
Terjemahan:
‘…Sang Bhuta Mecaling menjadi dewa yang sakti di Nusa, sebagai pengikut-Nya adalah Sang Bhuta Tiaksa, Sang Bhuta Keli, Sang Bhuta Bregala, Sang Bhuta Narayana, Sang Bhuta Ladrang, Sang Bhuta Pelar, Sang Bhuta Rendah…, semua itu memiliki kesaktian yang tak terhingga. Kepada mereka boleh memohon untuk membuat wabah penyakit, pembunuh leak dan musuh’ (Suastana, 2003: 30).
Sěgěhan kěpěl gedé adalah satu wujud rutual sěgěhan yang ditujukan kepada Tuhan atau manifestasi-Nya yang bersthana di Dalem Nusa. Secara lengkap wujud ritual tersebut biasanya dipersembahkan bersama-sama sěgěhan tuutan, sěgěhan sasah, dan sěgěhan pulangan.
Besarnya nasi kepal yang dibuat sesuai kepalan/genggaman tangan pembuatnya, mengandung makna bahwa persembahan kepada-Nya itu benar-benar hasil karya pembuatnya. Akan merupakan kebanggaan apabila kita bisa mempersembahkan hasil karya sendiri kepada orang lain, lebih-lebih kepada Sang Pencipta. Persembahan yang dilakukan juga hendaknya disesuaikan dengan kemampuan. Kemampuan dalam hal ini diartikan sebagai kemampuan material, kesempatan, dan ketulusan hati.
3.10 Sěgěhan Tuutan
Kata tuutan berasal dari kata tuut ‘turut’ dan mengalami afiksasi dengan mendapatkan sufiks –an, menjadi tuutan ’menuruti, mengikuti’. Sěgěhan tuutan adalah sebuah wujud ritual sěgěhan yang dibuat oleh masyarakat Hindu di Bali sehubungan dengan mara bahaya atau kematian. Dengan kata lain, sěgěhan tuutan adalah sěgěhan yang digunakan atau dipersembahkan kepada para bhuta kala saat ada kematian. Sěgěhan tersebut dibuat oleh warga masyarakat rumahnya dilalui oleh mayat yang diusung ke kuburan. Sěgěhan tersebut dipersembahkan saat mayat sampai di jalan di depan pekarangan rumah penduduk. Berikut adalah salah satu model atau bentuk/ wujud ritual sěgěhan tuutan.
Makna yang terkandung di baliknya adalah sebagai berikut. Dengan menghaturkan sěgěhan tuutan kepada seluruh bhuta kala yang mengikuti mayat ke kuburan diharapkan tidak akan mengganggu warga lain disekitarnya. Para penduduk berharap agar bhuta kala tidak mencari korban lain selain nuut ‘menuruti’ mayat yang diusung ke kuburan. Mereka berharap bahwa para bhuta kala sudah cukup puas dengan keberadaan mayat tersebut.
Dalam masyarakat Hindu dikenal ada beberapa wujud ritual sěgěhan tuutan. Tidak samanya wujud ritual di setiap desa atau warga masing-masing disebabkan oleh tingkat pemahaman agama masyarakat yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan kepada beberapa informan, sesungguhnya ada tiga wujud ritual sěgěhan tututan.
Wujud aslinya adalah berupa tumpěngl ‘nasi krucut’ lima warna. Adapun deskripsinya adalah sebagai berikut. Di timur adalah tumpěngl warna kuning, di selatan berwarna merah, di barat berwarna kuning, di utara berwarna hitam, dan di tengah berwarna brumbun. Sěgěhan tersebut dibuat di atas sebuah don biyah ’sejenis daun talas’. Yang dilengkapi dengan bluluk ’buah enau’ atau tibah ’mengkudu’ sebagai buahnya dan porosan dari daun lateng ’jenis daun yang beracun’ yang di dalamnya berisi tain belék ‘kotoran ayam yang encer berwarna hitam’. Sebagai lauknnya adalah bawang jahe dan sere ’terasi’. Pada umumnya dilengkapi dengan api takep ‘api yang dibuat di dalam sabut kelapa’. Wujud ritual tersebut hanya dibuat oleh sebagian masyarakat yang mendalami ajaran kandapat. Sedangkan masyarakat awam lebih memilih wujud yang lebih mudah untuk dibuatnya.
Wujud sěgěhan tuutan yang lain adalah berbentuk orang-orangan/nasi wong-wongan, nasi kěpěl ’nasi kepal’ atau bisa juga nasi sasah. Perbedaan wujud itu mengandung makna perbedaan tujuan persembahan. Sedangkan perlengkapannya sama dengan yang berwujud tumpěngl seperti tersebut di atas.
Wujud ritual sěgěhan tuutan yang berupa tumpěngl mengandung makna bahwa wujud ritual tersebut ditujukan kepada rajanya para bhuta kala yang dalam kepercayaan masyarakat Hindu di Bali disebut sebagai Ratu Gede Mecaling yang bersthana di Dalem Nusa/Dalem Péd atau Nusa Penida (Atmadja, 1999: 14). Wujud tumpěngl itu sendiri mengandung makna yang tertinggi. Dalam hal ini adalah penguasa maut yang tertinggi atau rajanya para bhuta kala.Itu pula lah penyebabnya, mengapa Beliau dijuluki sebagai Sang atau Sang Hyang Adi Kala ‘rajanya bhuta kala’.
Wujud ritual yang berupa nasi kěpěl ‘nasi kepal’ adalah lambang persembahan kepada maha patih Beliau yang dalam ajaran Kandapat dikenal sebagai Sang Bhuta Tiaksa. Wujud nasi sasah mengandung makna sebagai lambang persembahan kepada seluruh rakyat atau pengikut-Nya. Sedangkan, wujud nasi wong-wongan adalah sebagai lambang berserah diri orang yang mempersembahkan sěgěhan. Mereka berharap persembahan itu adalah pengganti dirinya. Dengan dinikmatinya wujud ritual tersebut, mereka pun selamat dari gangguan para bhuta kala.
3.11Sěgěhan Tumpěngl
Sěgěhan tumpěngl atau sěgěhan nasi tumpěngl adalah sebuah wujud ritual sěgěhan yang berbentuk tumpěngl ‘krucut’. Sěgěhan tersebut dibuat di atas pucuk daun pisang dan dilengkapi dengan lauk jeroan mentah, bawang merah, jahe, dan garam. Di ujung bagian atas daun diberi bunga atau canang lengkap dengan porosan-nya. Dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali sehari-hari sěgěhan model itu sangat jarang ditemukan karena termasuk wujud ritual khusus yang hanya dipersembahkan saat-saat tertentu. Untuk lebih jelasnya tentang wujud ritual sěgěhan yang dimaksud, perhatikan gambar berikut.
Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan dengan informan ahli, sěgěhan tumpěngl itu dibuat dengan sarana utama nasi yang berbentuk tumpěngl dengan warna yang berbeda-beda, sesuai keperluan. Ada yang berwarna putih, kuning, merah, hitam, dan mancawarna. Perbedaan warna nasi tersebut disesuaikan dengan tujuan kepada siapa sěgěhan itu dipersembahkan. Misalnya, untuk Sang Bhuta Mancawarna sebagai jelmaan Dewa Siwa di gunakan warna brumbun (campuran warna merah, putih, hitam).
Makna yang terkandung di balik sěgěhan tumpěngl adalah sebagai lambang persembahan kepada puncak-puncak kemahakuasaan Tuhan dalam agama Hindu. Yang dikenal sebagai puncak-puncak kemahakuasaan Tuhan itu adalah Brahma, Wisnu, Siwa, Ghana, Kala, Kumara, Saraswati, dan sebagainya. Maksudnya, Brahma adalah puncak kemahakuasaan Tuhan sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, Siwa sebagai pelebur, Ghana sebagai penolak mara bahaya, Kala sebagai penguasa waktu, Kumara sebagai penguasa sěgala kesenangan, dan Saraswati sebagai penguasa ilmu pengetahuan.
3.12 Sěgěhan Tulak
Sěgěhan tulak adalah sebuah wujud ritual yang terdiri atas tiga buah sěgěhan, yaitu sěgěhan sliwah, sěgahan kěpěl poleng, dan sěgěhan tulak. Kata tulak adalah kosa kata bahasa Bali yang berarti ‘tolak’, ‘balik’. Sěgěhan tulak adalah sebuah wujud ritual yang dibuat oleh masyarakat Hindu Bali, yang bertujuan untuk menolak mara bahaya yang bisa datang kapan saja. Sěgěhan tersebut dibuat di atas pucuk daun pisang yang dilengkapi dengan lauk bawang, jahe, gara, dan jeroan mentah.
Sěgěhan sliwah adalah sěgěhan wong-wongan yang separo badan berwarna putih, separo lagi berwarna merah atau hitam yang di Bali disebut berwarna sliwah. Sěgěhan kěpěl poleng adalah sěgěhan yang dibuat dengan cara dikepal dan diberi warna hitam dan putih (poleng). Dan sěgěhan tulak adalah wujud sěgěhan yang berupa dua buah nasi wong-wongan ‘menyerupai manusia’ terbalik atau beradu kepala. Ketiga sěgěhan tersebut masing-masing dipersembahkan kepada Sang Bhuta Sliwah, Sang Bhuta Poleng, dan Sang Bhuta Mandi. Adapun bentuk atau wujud ritual sěgěhan yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Adapun makna yang terkandung di balik sěgěhan-sěgěhan yang dimaksud adalah sebagai berikut. Sěgěhan sliwah mengandung makna sebagai persembahan kepada Sang Bhuta Sliwah. Warna sliwah itu mengandung makna agar sěgala mara bahaya yang ada atau yang akan datang menjadi netral. Sěgěhan poleng adalah lambang persembahan kepada Sang Bhuta Poleng sebagai bhuta kala penguasa berbagai macam kesaktian. Dengan persembahan sěgěhan poleng diharapkan sěgala kekuatan yang menyertai mara bahaya itu akan lenyap atas izin Sang Bhuta Poleng. Sedangkan, sěgěhan tulak adalah lambang persembahan kepada bhuta kala yang dikenal sebagai Sang Bhuta Mandi. Wujud ritual yang berupa sěgěhan tulak diharapkan sěgala macam mara bahaya akan berbalik atau pulang ke asalnya.
3.13 Perlengkapan Sěgěhan
Sěgěhan sebagai sebuah wujud ritual juga dilengkapi dengan beberapa peralatan yang lain seperti, lauk (bawang merah, jahe, dan jeroan mentah), minuman (arak, berem ‘air tape’, air, tuak ‘nira’, dan darah), api , dan canang. Masing-masing perlengkapan sěgěhan itu memiliki makna sendiri-sendiri. Adapun maknanya adalah sebagai berikut.
(1) Lauk
Bawang merah, jahe, dan jeroan mentah adalah lauk yang selalu menyertai ritual sěgěhan. Bawang merah yang memiliki bau dan rasa yang sangat tajam atau amis; jahe yang memiliki rasa sepat dan pahit; dan jeroan mentah atau isi perut, dalam kepercayaan masyarakat Hindu di Bali adalah kesukaan bhuta kala. Sěgala sesuatu yang berbau menyengat dan amis seperti tersebut di atas, menurut keyakinan umat Hindu disenangi oleh para bhuta kala.
Bawang merah yang berbau amis itu juga sering digunakan oleh masyarakat sebagai penangkal leyak dengan cara dioleskan pada ubun-ubun bayi atau balita. Maksudnya adalah agar leyak tersebut tidak mengganggu si bayi karena sudah cukup puas dengan menjilat bau bawang merah itu. Untuk menolak mara bahaya secara umum, bawang merah itu bisa dioleskan diberbagai tempat, misalnya di badan orang dewasa , di atas pintu kamar, dan di sebelah kiri atau kanan pintu rumah.
Garam dalam keidupan masyarakat memiliki manfaat yang sangat banyak. Garam memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Benda tersebut sangat akrab dengan kehidupan manusia, sampai-sampai digunakan sebagai pepatah yang berbunyi, bagaikan sayur tanpa garam, yang bermakna ‘hambar’. Dalam hubungannya dengan sěgěhan, garam juga mengandung makna penyedap rasa persembahan. Dengan garam itu diharapkan sěgěhan yang ditujukan kepada bhuta kala itu menjadi lebih enak rasanya, sehingga mereka terlena dan tidak ingat lagi dengan hal-hal yang lain.
(2) Minuman
Minuman (arak, berem ‘air tape’, air, tuak ‘nira’, dan darah), yang digunakan sebagai pelengkap sěgěhan dikenal dengan tetabuhan. Kata tetabuhan itu sendiri berasal dari kata tabuh yang berarti ’tabur’, ‘siram’. Hal itu sesuai dengan cara persembahan minuman itu, yaitu dengan cara disiramkan pada sěgěhan.
Bhuta kala dalam kepercayaan masyarakat Hindu diandaikan sebagai sosok yang mengerikan, menyeramkan, senang mabuk-mabukan, dan sebagainya yang memiliki sifat tidak baik. Berdasarkan keyakinan itu, mereka memandang perlu untuk memanjakannya dengan berbagai minuman keras yang memabukkan.
Persembahan darah dalam ritual Hindu dilaksanakan dengan berbagai cara, misalnya dengan mengadu ayam (tajen), dengan darah ayam atau babi yang langsung ditaruh pada sěgěhan, dan dengan menyembelih anak ayam atau itik saat ritual sěgěhan. Persembahan darah dengan penyembelihan anak ayam atau itik dikenal dengan istilah penyambléh. Dalam praktek sehari-hari, wujud ritual minuman yang berupa darah sering diganti dengan telor. Masyarakat yakin bahwa telor memiliki makna yang sama dengan darah. Pemekaian telor sebagai pengganti darah dapat diljumpai dalam wujud ritual sěgěhan agung
(3) Api
Api dalam keyakinan umat Hindu memiliki peranan dan makna yang sangat penting. Dalam hubungannya dengan kegiatan ritual, api dapat berwujud dupa dan api takep ‘api yang dibuat dalam dua buah sabut kelapa’. Dupa atau api yang digunakan dalam ritual itu mengandung makna sebagai lambang Dewa Brahma sebagai saksi atas ritual yang dilakukan. Brahma adalah Dewa Api yang memiliki fungsi dan peranan sebagai penerang jiwa orang yang menggunakannya. Asap yang ditimbulkan oleh dupa atau api takep yang membumbung ke udara diyakini sebagai penghantar ritual kepada para para dewa dan bhuta kala.
Api yang memiliki sifat yang sama dengan matahari juga diyakini sebagai simbol Dewa Matahari yang dalam masyarakat Hindu dikenal dengan Sang Hyang Surya atau Sang Hyang Tigawelas atau Sang Hyang Triyodasasaksi. Wujud ritual dupa diandaikan bahwa dalam ritual tersebut telah hadir Sang Hyang Triyodasasaksi ‘tiga belas unsur Tuhan sebagai saksi’ yang menyaksikan ritual sehingga menjadi sah adanya.
(4) Canang
Kata canang berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang berarti ‘sirih’. Sirih yang di dalamnya dilengkapi dengan kapur dan pinang yang kemudian dikenal dengan porosan adalah unsur utama dari canang. Kalau sebuah canang itu tidak berisi porosan dianggap belum bernilai keagamaan. Porosan itu adalah lambang Tuhan sebagai Tri Murti. Pinang yang berwarna merah adalah lambang Dewa Brahma sebagai pencipta, sirih yang berwarna hijau adalah lambang Dewa Wisnu sebagai pemelihara, dan kapur yang berwarna putih adalah lambang Dewa Siwa sebagai pemusnah (Titib, 2001: 144). Pemujaan Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pemusnah bertujuan untuk memohon kepada-Nya agar tercipta sesuatu yang memang patut tercipta, terpelihara sesuatu yang memang semestinya terpelihara, dan bergantinya atau leyapnya sesuatu yang mesti harus berganti atau lenyap (Wiana, 2000: 32; 2001: 9).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar